JAKARTA - Kebutuhan energi yang terus meningkat menjadikan sektor industri sebagai pengguna listrik terbesar di Indonesia, dengan konsumsi mencapai sekitar 30 persen dari total nasional.
Kondisi ini mendorong pelaku industri mencari solusi energi yang lebih efisien sekaligus mendukung target penurunan emisi karbon. Salah satu langkah yang semakin banyak diadopsi adalah pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
Dalam mendukung peralihan tersebut, SUN Energy sebagai penyedia solusi energi surya di Indonesia berperan aktif membantu sektor industri mengimplementasikan PLTS Atap yang sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap Terhubung Jaringan IUPTLU, sebagai bagian dari transisi menuju energi bersih.
Sejak 2024, pemerintah resmi menerapkan sistem kuota nasional PLTS Atap untuk menjaga stabilitas jaringan listrik sekaligus mempercepat integrasi energi terbarukan. Mengacu pada RUPTL 2025–2034, total kuota PLTS Atap pada periode 2024–2028 ditetapkan sebesar 5.746 MW, dengan rincian:
Wilayah dengan konsentrasi industri tinggi seperti Jawa–Madura–Bali memperoleh alokasi kuota terbesar, disusul Sumatra dan Kalimantan. Kondisi ini membuat perencanaan pemasangan PLTS Atap menjadi semakin krusial, karena di kawasan industri padat, kuota berpotensi terserap lebih cepat. Oleh karena itu, waktu pengajuan izin menjadi faktor strategis bagi perusahaan.
Meski terdapat pembatasan kapasitas, sistem kuota justru memberikan kepastian investasi. Dengan alokasi kuota yang ditetapkan secara transparan dan tahunan, perusahaan dapat merencanakan pengembangan energi surya tanpa mengganggu kegiatan produksi utama.
Dalam skema kuota yang berlaku saat ini, pemasangan PLTS Atap di sektor industri mengikuti beberapa tahapan utama yang perlu dipersiapkan sejak awal.
1. Studi Kelayakan dan Audit Energi
Tahap awal dimulai dengan audit energi dan analisis kebutuhan listrik untuk menentukan kapasitas PLTS yang paling sesuai. Studi ini penting agar sistem yang dibangun mampu menekan biaya listrik tanpa menimbulkan kelebihan daya atau gangguan pada jaringan internal.
2. Perancangan Sistem dan Kesiapan Teknis
Selanjutnya, dilakukan penyusunan desain teknis yang mencakup tata letak panel surya, inverter, dan komponen pendukung lainnya. Desain harus memperhatikan standar keselamatan, struktur bangunan, serta kebutuhan operasional industri.
3. Pengajuan Izin dan Alokasi Kuota
Permohonan izin PLTS Atap diajukan secara daring dengan mekanisme first come, first served, mengikuti ketersediaan kuota di masing-masing wilayah. Jika kuota telah terpenuhi, proyek akan masuk daftar tunggu untuk periode berikutnya. Proses pendaftaran dan evaluasi umumnya dilakukan dua kali setahun, yaitu pada Januari dan Juli, agar perencanaan proyek dapat berjalan lebih tertib dan transparan.
4. Instalasi dan Pengoperasian
Setelah izin diperoleh, tahap instalasi dilanjutkan hingga sistem siap beroperasi. Listrik yang dihasilkan PLTS Atap digunakan langsung untuk mendukung aktivitas produksi pada siang hari, sehingga mengurangi ketergantungan pada pasokan listrik dari jaringan nasional.
Dengan mengikuti tahapan tersebut, perusahaan dapat memastikan proyek PLTS Atap berjalan efisien dan sesuai regulasi. Untuk mengantisipasi keterbatasan kuota, pelaku industri disarankan mulai berkoordinasi dengan pengembang PLTS setidaknya empat bulan sebelum periode kuota dibuka.
Sebagai ilustrasi, jika kuota dibuka pada Januari, persiapan ideal dimulai sejak September tahun sebelumnya. Sementara untuk periode Juli, proses perencanaan sebaiknya dimulai sejak Maret.
Meski kebijakan kuota menghadirkan tantangan administratif, regulasi ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mendorong pengembangan energi bersih yang lebih terukur. Di tengah dinamika tersebut, kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan pengembang energi seperti SUN Energy menjadi kunci percepatan realisasi PLTS Atap di Indonesia.
Bagi sektor industri, pemanfaatan PLTS Atap bukan sekadar proyek energi, melainkan strategi jangka panjang untuk menekan biaya operasional, meningkatkan daya saing, dan memperkuat kredibilitas keberlanjutan.
Dengan dukungan regulasi dan mitra berpengalaman, energi surya kini menjadi fondasi penting transformasi industri menuju masa depan rendah karbon.
(Agustina Wulandari )