JAKARTA - Koalisi Anti Utang (KAU) keberatan dengan prinsip rasio utang terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB). Pasalnya ini menggambarkan pemerintah suatu negara mengalami beban utang, bukan menggambarkan pemerintah memiliki kemampuan pembiayaan anggaran.
"Saya tidak terlalu setuju menggunakan rasio utang terhadap PDB ini menggambarkan pemerintah suatu negara mengalami beban utang bukan menggambarkan pemerintah memiliki kemampuan pembiayaan anggaran mereka," ujar Ketua KAU Dani Setiawan, di Badan Anggaran DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (12/10/2012).
Dani mengatakan, saat ini rasio utang telah banyak mengalami penurunan, dari 80 persen hingga diperkirakan dapat menyentuh 23-24 persen. Namun hal ini seakan menunjukkan beban utang meningkat terus, meski rasionya turun tapi kemampuan fiskal untuk semakin berat bayar cicilan pokok dan utang.
"Jadi yang dipakai itu bukan debt to GDP rasio, tapi beban pembayaraan utang terhadap belanja negara. Jadi kalau belanja utangnya itu jadi salah satu indikator, berapa triliun dikeluarkan oleh pemerintah untuk bayar utang dan berapa belanjanya?" kata dia.
Dani menjelaskan, cara penghitungan debt to GDP, pemerintah menggunakan strategi net negatif flow pembayaran utang lebih banyak dari penarikan utang baru lalu pertumbuhan ekonomi digenjot.
"Pertumbuhan ekonominya tinggi, pembayaran utang besar, otomatis debt to GDP turun, tapi sama sekali tidak mencerminkan beban yang harus ditanggung dalam pembayaran utang," tukas dia.
(Martin Bagya Kertiyasa)