JAKARTA - Penerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki perekonomian setara. Tax rasio Indonesia pada tahun 2012 hanya sekitar 12,3 persen bahkan dalam lima tahun terakhir tidak pernah mencapai 14 persen, padahal negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia sudah mencapai 14 persen.
Peneliti kebijakan publik Ach Maftuchan yang juga tergabung dalam koalisi masyarakat sipil untuk APBN Kesejahteraan mengatakan rendahnya penerimaan pajak Indonesia karena kurang optimalnya kinerja pemerintah dalam memungut pajak, tidak ada perluasan basis pemajakan (tax base) dan tingkat kesadaran dan partisipasi publik dalam membayar pajak masih rendah.
"Kinerja pemerintah dalam memungut pajak belum optimal, tidak ada perluasan basis pemajakan dan tingkat kesadaran dan partisipasi publik dalam membayar pajak masih rendah," kata Maftuchan saat peluncuran buku APBN Konstitusi 2014 di Jakarta, Kamis (15/8/13).
Selain itu menurutnya, yang menjadi penyebab rendahnya penerimaan pajak Indonesia adalah masih tingginya praktik illicit financial flows (transfer pricing dan lain-lain) oleh korporasi multinasional.
Bahkan, lanjut dia, saat ini Indonesia menempati urutan kesembilan terbesar di dunia dalam praktik illicit capital flows, dimana pada tahun 2001-2010, total uang ilegal yang keluar dari Indonesia sebesar USD123 Miliar atau jika dirata-rata tiap tahunnya sekitar USD10,9 Miliar atau sekitar Rp110 triliun per tahun.
Maftuchan mengatakan potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, baik dari perorangan maupun badan, bahkan Bank Dunia menilai Indonesia mampu mencapai tax ratio 21 persen terhadap PDB atau kira-kira lebih dari Rp500 triliun potensi pendapatan sektor pajak yang dapat ditambahkan dalam annual tax forecasting.
Dia mengatakan untuk mampu membiayai pembangunan tanpa banyak bergantung dengan utang dan ODA, Indonesia dalam 5 tahun ke depan harus mampu mencapai tax ratio rata-rata negara berpenghasilan menengah ke bawah yaitu 20-24 persen terhadap PDB.
Lebih lanjut, dia mengatakan untuk mencapai tax rasio tersebut pemerintah harus mampu meningkatkan jumlah wajib pajak pribadi kaya dan wajib pajak pribadi (karyawan) menjadi 50 juta wajib pajak dan wajib pajak badan menjadi lima juta wajib pajak badan dalam dua tahun ke depan, serta memperluas basis pemajakan dengan menyasar sektor informal.
Dalam buku APBN Konstitusi 2014, pihaknya merumuskan target penerimaan pajak sebesar Rp1.500 triliun, lebih besar dari target pemerintah yang telah dirumuskan dalam RAPBN 2014 sebesar Rp1.145 triliun.
1. Pajak Penghasilan (PPh), rumusan pemerintah Rp538 triliun, sementara APBN Konstitusi sebesar Rp600 triliun
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPn), rumusan pemerintah Rp423 triliun, sementara APBN Konstitusi sebesar Rp650 triliun
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), rumusan pemerintah Rp27 triliun, sementara APBN Konstitusi sebesar Rp30 Triliun
4. Cukai, rumusan pemerintah Rp104 triliun, sementara APBN Konstitusi sebesar Rp140 triliun
5. Pajak lainnya, rumusan pemerintah Rp5 triliun, sementara APBN Konstitusi sebesar Rp10 triliun
6.Pajak Perdagangan Internasional, rumusan pemerintah Rp48 triliun, sementara APBN Konstitusi sebesar Rp70 triliun (wan)
(Widi Agustian)