DATA sementara BPS hasil rekapitulasi jumlah ternak pemutakhiran (Blok Sensus) untuk Sensus Pertanian (ST) 2013 sampai awal Juni 2013 menyebutkan populasi sapi potong hanya 13,3 juta ekor. Dibandingkan dengan sensus sapi 2011, jumlah ini berkurang 19,52 persen.
Penurunan populasi dibandingkan dengan data hasil sensus khusus ternak oleh BPS di tahun 2011 ini ditengarai sebagai akibat dari pemotongan sapi secara besar-besaran karena harga daging sapi yang bertahan relatif tinggi. Sementara itu Kementerian Pertanian memproyeksikan kebutuhan daging sapi tahun 2013 sebesar 549,7 ribu ton.
Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6 persen) harus diimpor. Adapun rincian impor tersebut terdiri dari 32 ribu ton dalam bentuk daging sapi beku dan 267 ribu ekor sapi bakalan yang setara dengan 48 ribu ton daging sapi.
Dalam perkembangannya, realisasi impor berjalan lambat dan ketersediaan daging sapi dalam negeri pun menemui berbagai kendala. Sebagai akibatnya harga daging sapi di beberapa daerah masih terus merangkak naik. Sebagai langkah antisipasi kenaikan harga daging sapi yang cenderung terus meningkat di pasar, pada bulan Mei 2013, dalam Rakortas Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Pemerintah menetapkan penambahan pasokan daging impor berupa karkas atau daging sebanyak 3.000 ton oleh Bulog. Kenaikan harga daging sapi pun turut terpicu oleh adanya kebijakan pengurangan subsidi BBM yang baru dapat dilaksanakan pada bulan Juni 2013 berdekatan dengan periode kenaikan harga daging musiman menjelang memasuki bulan suci Ramadan.
Namun, upaya pemerintah dalam menstabilkan harga daging sapi melalui pelibatan peran Perum Bulog ini pun kenyataannya berjalan lambat karena baru dapat direalisasikan pada minggu ke-tiga Juli 2013 dan itu pun dinilai kurang efektif dalam menurunkan harga.
Kebutuhan Konsumsi Daging Sapi
Mempelajari data hasil Sensus Pertanian 2013 dan data impor yang telah ditetapkan, mestinya tingginya harga daging sapi di seluruh wilayah tanah air dalam beberapa bulan terakhir ini dapat dihindari. Potensi sapi potong nasional yang sangat besar seharusnya mampu menjaga ketersediaan pasokan daging di Tanah Air.
Fenomena kenaikan harga pangan menjelang perayaan bulan suci Ramadan oleh umat Islam di tanah air sudah diprediksi dan upaya penanganannya telah diinstruksikan sejak tiga bulan sebelumnya. Kenyataannya sampai hari ini kenaikan harga di pasar belum dapat dikendalikan.
Ketika terjadi kenaikan permintaan secara tiba-tiba, potensi sapi potong dalam negeri tidak dapat digerakkan dengan segera, sehingga ketersediaan daging di pasar terganggu. Dampaknya harga daging sapi terdongkrak naik cukup tinggi. Kondisi ini diduga merupakan akibat adanya hambatan dalam sistem distribusi daging sapi.
Data BPS menunjukkan bahwa sebaran populasi ternak sapi dan sebaran penduduk yang merupakan konsumen daging sapi di tanah air tidak merata. Mengacu data Sensus Pertanian tahun 2011, populasi sapi potong terbesar terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera yaitu 69,06 persen dari populasi sapi potong nasional. Populasi sapi potong di Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua mencapai 16,77 persen, sedangkan di Pulau Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 14,18 persen dari total populasi sapi potong.
Mengacu kepada data Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di Jawa dan Sumatera sebanyak 186,7 juta orang atau 78,8 persen dari total seluruh penduduk Indonesia. Dengan asumsi konsumsi daging sapi 2,2 kg per kapita (Kementerian Perdagangan), maka kebutuhan konsumsi daging sapi di Pulau Jawa dan Sumatera diperkirakan sebanyak 410 juta kg per tahun atau setara dengan 2,98 juta ekor sapi potong lokal (asumsi rata-rata berat sapi potong lokal 350 kg dengan berat karkas 54 persen). Bila disandingkan dengan data populasi sapi potong di Jawa dan Sumatera yang diperkirakan berjumlah 8,6 juta ekor (69,09 persen dari total populasi sapi potong), mestinya kebutuhan konsumsi daging sapi di kedua lokasi tersebut dapat dipenuhi sendiri.
Namun kenyataannya, karena pemeliharaan ternak di Jawa sebagian besar bersifat tabungan keluarga dengan jumlah pemilikan sapi rata-rata 1-2 ekor per KK, maka ketersediaannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi khususnya di Jawa tidak dapat dipastikan dan oleh karenanya harus didatangkan dari kawasan sentra sapi potong, seperti Bali dan Nusa Tenggara. Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang dihuni 5,5 persen penduduk Indonesia memiliki 14,18 persen dari populasi sapi potong nasional.
Distribusi Pasokan Daging Sapi
Pasokan daging sapi di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jabodetabek tidak akan menjadi masalah apabila distribusi sapi dari daerah sentra dapat dilakukan dengan mudah dan biaya murah. Kelebihan potensi populasi sapi potong di Bali dan Nusa Tenggara yang cukup besar sulit untuk disalurkan ke Jawa dan Sumatera akibat sistem logistik yang belum cukup baik. Tata niaga daging sapi domestik masih mengandalkan pada pengiriman sapi hidup dan masih memiliki hambatan yang cukup banyak sehingga belum efisien. Penyebab inefisiensi itu utamanya adalah karena belum memadainya jumlah dan kapasitas alat angkut (truk dan kapal) dan minimnya kualitas sarana angkutan baik truk maupun kapal yang digunakan.
Begitu pula sistem bongkar muat ternak sapi di pelabuhan dilakukan dengan teknik yang kurang memperhatikan kenyamanan ternak sehingga menjadi faktor penyebab tingginya stress pada ternak.Sampai saat ini, pengangkutan ternak dari Nusa Tenggara masih menggunakan kapal kayu dan kargo yang berkapasitas kecil sekitar 300-500 ekor per pengiriman. Terlebih lagi, belum semua pelabuhan memiliki holding ground untuk tempat pengumpulan ternak dan pemeriksaan karantina sebelum naik maupun setelah turun dari atas kapal. Kondisi ini diperburuk lagi dengan adanya retribusi yang harus dikeluarkan selama proses pengangkutan mulai dari desa, kecamatan, propinsi sampai ke daerah tujuan.
Biaya logistik yang tinggi menjadi kendala serius di wilayah Indonesia Timur. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya jaminan muatan balik dari wilayah timur bagi angkutan kargo (backhaul), yang menyebabkan ongkos angkut dari dan ke wilayah timur Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dari dan ke wilayah barat Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya disparitas harga yang tinggi antara wilayah barat dan timur.
Padahal, terkait masalah pasokan daging sapi, wilayah timur Indonesia memiliki populasi serta potensi menyediakan sapi hidup dan daging sapi yang cukup besar dan prospektif. Sebagai contoh, Rumah Potong Hewan (RPH) di NTB memiliki kapasitas pemotongan daging hingga 60 ton per hari. Namun karena terbatasnya cold storage pada angkutan kapal dan pelabuhan, maka lebih efisien apabila pasokan daging ke daerah lain dilakukan dalam bentuk sapi hidup.
Kondisi proses pengangkutan sapi seperti itu mengakibatkan, pasokan daging sapi lokal dari wilayah sentra ke wilayah yang membutuhkan menjadi sangat terbatas dan biaya angkutnya menjadi mahal. Tidak mengherankan apabila daging sapi impor dari Australia jauh lebih cepat didatangkan dan biayanya pun lebih murah. Saat ini, biaya angkutan antar pulau seringkali jauh di atas biaya angkutan impor dari negara lain. Biaya angkutan daging sapi atau sapi potong dari Nusa Tenggara ke Jakarta mencapai Rp 3.000 per kg. Ongkos pengiriman satu kontainer ukuran 40 feet dari Padang , Sumatera Barat ke Jakarta mencapai USD 600. Padahal, biaya angkut komoditas yang sama dari Australia atau Selandia Baru ke Jakarta hanya Rp700 per kg, sedangkan ongkos kirim kontainer berukuran sama dari Jakarta ke Singapura, yang jaraknya lebih jauh, hanya sebesar USD185.
Upaya Penataan
Dalam rangka mengendalikan kenaikan harga daging sapi pada saat ini, Pemerintah telah menunjuk Perum BULOG untuk melakukan impor daging sapi dan menggelar operasi pasar. Langkah ini merupakan kebijakan jangka pendek yang diambil untuk mengatasi permasalahan pasokan daging sapi dan tingginya lonjakan harga daging sapi. Untuk jangka menengah–panjang, pembenahan sistem distribusi sapi lokal hidup harus dilakukan secara komprehensif dan tidak bersifat sektoral. Penambahan jumlah dan peningkatan kapasitas serta kualitas alat angkut ternak sapi perlu dilakukan baik untuk moda transportasi truk, kereta api, maupun kapal.
Pembenahan sistem distribusi sapi hidup lokal dan daging sapi perlu dilakukan mulai dari jumlah dan jenis sarana angkutan hingga adminsitrasinya. Diperlukan penyediaan angkutan yang di desain khusus untuk mengangkut ternak sapi dan daging sapi. Demikian pula dengan teknik proses bongkar muat dalam pengangkutan sapi hidup dan daging sapi. Rencana Kementerian Perhubungan untuk mengembangkan desain khusus kapal ternak harus didukung oleh semua pihak terkait, seperti PT PELNI, Pemda, dan pengusaha pemilik angkutan lokal antar daerah. Begitu pula, Pemda perlu mendorong peran serta pihak swasta ataupun asosiasi pengusaha daging sapi di daerah untuk ikut berperan dalam menyediakan box pendingin (cold storage) pada setiap pelabuhan atau titik transfer daging sapi.
Upaya yang dilakukan dalam stabilisasi harga daging sapi dan menciptakan pasar daging domestik agar lebih kompetitif tetap diperlukan. Impor daging sapi sampai saat ini masih diperlukan, terutama untuk memenuhi kebutuhan pasar horeka ataupun memenuhi kebutuhan pasar manakala produksi lokal tidak memadai. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan impor adalah ketepatan waktu pelaksanaan dan lokasi pemasarannya, sehingga tujuan untuk stabilisasi harga tercapai.
Harianto
Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi
(Widi Agustian)