JAKARTA - Banyak sumber energi alternatif yang digunakan untuk mengatasi krisis energi. Mulai dari panas bumi atau geothermal, tenaga surya, hingga biomassa yang memanfaatkan limbah.
Namun, ketersediaan berbagai bahan baku energi alternatif tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan energi yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Deputi Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) Taswanda Taryo menyatakan, sumber energi terbarukan yang sesuai untuk mengatasi persoalan krisis energi di Indonesia adalah nuklir.
"Kita krisis energi. Pada 2025, kita kekurangan listrik hingga 5 ribu megawatt. Sumber energi alternatif lain, seperti geotermal dan biomassa itu jumlahnya kecil. Tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik tadi. Mau tidak mau harus nuklir. Pilihan yang tidak bisa dihindari," kata Taswanda di Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2014).
Menurut Taswanda, Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) karena keberadaan uranium yang cukup besar. Khususnya di daerah Kalimantan, Sumatera, maupun Indonesia bagian timur, seperti Papua dan Sumbawa.
"Dalam kebijakan energi nasional, akan dipilah daerah yang dapat digunakan untuk membangun PLTN. Sumber uranium di Indonesia sebesar 60 ribu ton ada di Kalimantan tapi Papua dan NTT juga berpotensi untuk mendirikan PLTN," jelasnya.
Pertimbangan lain untuk membangun PLTN, kata Taswanda, ialah kemampuan PLTN menghasilkan hidrogen. Gas tersebut bisa digunakan untuk industri pupuk hingga pencairan batu bara.
"PLTN bagus karena dilengkapi dengan cogeneration. Jadi tidak hanya menghasilkan listrik tapi juga menghasilkan produksi hidrogen untuk pupuk dan bisa digunakan untuk pencairan batu bara," tutur Taswanda.
Dia menekankan, setiap sumber energi memiliki risiko masing-masing, termasuk nuklir. Ketakutan peristiwa kebocoran nuklir yang terjadi di Fukushima, Jepang menjadi dasar kuat PLTN belum bisa diterapkan di Indonesia.
"Sumber energi apapun pasti ada risikonya. Tapi teknologi kan terus berkembang dan tingkat keselamatan pun terus diperhatikan. Teknologi yang digunakan di Fukushima itu generasi dua. Sementara kita masuk 3+ seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa, seperti Prancis," ungkapnya.
Taswanda menyebut, untuk memproduksi sebuah PLTN membutuhkan dana sekira Rp20-25 triliun. Sedangkan satu PLTN mampu memproduksi energi listrik sebesar 1.000 megawatt.
"Kita butuh lima PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi pada 2025 dengan kapasitas tiap PLTN sebesar 1.000 megawatt. Soal biaya sebenarnya tidak terlalu mahal jika mempertimbangkan aspek keselamatan yang harus dijaga serta life time PLTN yang mencapai 60 tahun. Demikian pula dengan biaya perawatan yang tidak terlalu besar," tutup Taswanda.
(Rizkie Fauzian)