JAKARTA - Sejak menggantikan Saefuddien Hasan, yang terdepak akibat kasus L/C fiktif senilai Rp1,7 triliun, pada 13 Desember 2003, posisi Sigit Pramono tak pernah mulus. Serangkaian kontroversi terjadi di bank itu. 
Mulai dari perubahan logo, kebijakan professional hire (prohire) untuk mengisi posisi-posisi strategis, hingga pensiun dini yang diberikan ke sejumlah karyawan.
Seorang konsultan SDM yang pernah disewa BNI mengatakan, iklim kerja di perusahaan ini tidak kondusif. Akibatnya, strategi yang dikembangkan tidak berjalan maksimal. Saking sulitnya mengubah budaya kerja tersebut, si konsultan hanya mampu bertahan tiga bulan. "Sulit Mas mengubah karakter SDM BNI," kata seorang sumber. 
Di bawah kepemimpinan Sigit, BNI mengalami pasang surut. Setelah sempat menorehkan laba bersih Rp 3,1 triliun tahun 2004, bisnis BNI terkapar akibat naiknya NPL tahun 2005. Hingga kini, kondisi perseroan belum sepenuhnya pulih. Sampai kuartal III-2007, BNI hanya mampu meraih laba Rp 1,5 triliun.
Inefisiensi masih menjadi masalah di bank publik ini. Itu terlihat dari angka BOPO yang masih di kisaran 84 persen. Yang menggembirakan, aset perseroan tumbuh rata-rata tujuh persen per tahun. Adapun kredit BNI naik 70 persen selama kepemimpinan Sigit. 
Sayang, karena dana-dana mahal cukup besar, net interest margin perseroan amat tipis, empat persen. Itu sebabnya, Sigit bilang, perusahaannya kini sedang menata kembali komposisi dana pihak ketiga. "Kami ingin dana murah menjadi semakin dominan. Makanya, aset kami ikut turun," ungkapnya.
Mengenai penyelesaian NPL, alumnus Universitas Diponegoro ini optimistis debitor yang bermasalah akan segera menyelesaikan kewajibannya. Bahkan Garuda dan Semen Bosowa dalam waktu dekat akan melakukan pelunasan. 
Menurut Sigit, BNI memang menempuh strategi berbeda dalam penyelesaian NPL. "Strategi kami bukan dengan cara mempermalukan orang, terus memaksa mereka untuk kooperatif. Bagi kami, yang penting kreditnya selesai," tegas Sigit.   
(Rani Hardjanti)