MEDAN - Pemerintah diminta menetapkan kluster wilayah tanam untuk satu daerah, agar kapasitas produksi dan harga dapat terjaga. Pasalnya, pemerintah tak bisa berharap pada petani untuk menyesuaikan jenis tanamannya.
"Kalau kita yang diminta untuk mengimbau petani menyesuaikan tanamannya, golok itu yang nempel di leher kita. Petani kita ini kan sekarang berpikir jauh lebih instan, padahal kalau keberimbangan baru sudah terelisasi, petani juga yang paling merasakannya," Kata Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Gapkindo Sumut Edy Irwansyah di Medan, Selasa (15/5/2012).
"Harga sawit memang masih prospektif, tapi kita butuh keberimbangan baru untuk mensejahterakan petani, lewat industri karet yang saat ini harganya relatif lebih baik," tambah dia.
Dari sisi pengusaha, tingginya harga karet sebenarnya bukan sesuatu yang pasti menguntungkan. Karena dengan tingginya harga, maka modal yang diperlukan petani untuk membeli karet tentunya harus lebih besar.
Sementara, keuntungan pastinya semakin tipis karena volumenya tetap sama. "Kalau kita terjepit sebenarnya, karena kalau harga karet tinggi, kan perputaran modal melambat, sementara volume yang dibeli sama," jelas dia.
Menurutnya, jika pemerintah setuju dan konsisten untuk juga mengembangkan industri karet, maka pemerintah harus melakukan proteksi terhadap industri hulu karet untuk investasi lokal.
Dia menjelaskan, saat ini konversi dari lawan perkebunan lainnya ke lahan perkebunan karet belum berjalan, sehingga pasokan untuk industri karet lokal pun terbatas. Sementara industri lokal dibidang pengolahan karet belum berjalan secara maksimal, dan nilai ekonomis karet belum terdongkrak.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat mendatangkan investasi di sektor hilir karet yang belum berkembang secara maksimal saat ini. Karena dengan masuknya investasi di sektor hilir, jumlah pasokan karet yang kecil dapat dimaksimalkan, dan harganya akan semakin membaik.
"Kalau industri hilirnya jalan, kan nilai ekonomis karet lokal meningkat, jadi petani yang pragmatis itu akan melakukan konversi dengan sendirinya untuk memenuhi kapasitas produksi," ungkapnya.
Di samping industri hulu perkebunan karet, pemerintah juga diharapkan dapat memproteksi industri pengolahan karet alam agar tak dimasuki investor, karena saat ini kapasitas produksi pabrik karet sejatinya belum maksimal, akibat pasokan bahan baku yang minim.
"Di sumut, rata-rata kapasitas pabrik terpasang karet mencapai 800 ribu ton per tahun, dan rata-rata baru difungsikan setengahnya, karena produksi karet petani juga cuma 400 ribu ton per tahun. Jadi enggak efektif juga kalau investasinya masuk untuk pembangunan pabrik," jelas dia.
(Martin Bagya Kertiyasa)