Pengatur Hulu Migas Harus Steril dari Kepentingan Politik

Sudarsono, Jurnalis
Sabtu 08 Desember 2012 15:45 WIB
Ilustrasi. (Foto: Runi/Okezone)
Share :

JAKARTA – Prinsip mewakili negara, harus menjadi esensi dari badan atau institusi baru pengganti Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang harus termaktub dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

”Karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 Ayat 3 menyebutkan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga, badan tersebut merupakan representasi negara tentunya,” kata mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Prof H.A.S Natabaya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (8/12/2012).

Menurut Natabaya, minyak dan gas sebagai bagian yang terkandung dalam bumi Indonesia, harus dikuasai dan dikontrol oleh negara. Namun negara, melalui badan yang mewakili, melakukan pengelolaan melalui kerjasama atau berkontrak dengan pihak swasta nasional maupun asing, untuk memproduksi.

Mengingat dalam suatu kerjasama bisa terjadi dispute atau sengketa, maka tentu saja negara harus terproteksi. Maka di sinilah fungsi dan peran badan baru, sebagai pengatur kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, mewakili negara namun melindungi negara dari berbagai tuntutan.

”Kalau mau jujur, status kontitusional BP Migas itu sudah benar. Tetapi memang ada yang alpa menyangkut masalah kontrol atau pengawasan, karena badan tersebut tidak memiliki struktur komisaris atau dewan pengawas. Jadi, nantinya harus diawasi dengan ketat, guna menghindari inefisiensi dan penyimpangan,” kata dia.

Sementara itu, mantan Wakil Kepala BP Migas Abdul Muin mengingatkan, Undang-Undang Migas harus memberikan jaminan terhadap tatakelola yang baik, serta badan pelaksana independen dan berkualitas. ”Sedapat mungkin disterilkan dari akses kepentingan politik atau kepentingan bisnis kelompok tertentu,” kata Muin.

Bahkan, metode pemilihan nakhoda badan tersebut, sebaiknya tidak lagi menggunakan cara lama lewat usulan menteri dan proses di DPR, tetapi berbasis profesionalitas, punya track record mumpuni, bersih dan berani, melalui saringan awal yang ketat dengan melibatkan berbagai organisasi profesi dan stakeholder sektor perminyakan dan gas bumi.

Ini menjadi krusial, guna menghindari masuknya kandidat boneka, yang hanya berorientasi pada kepentingan perampok dan penghisap darah rakyat Indonesia, tetapi punya komitmen untuk menjalankan amanah Pasal 33 UUD 1945. ”Dan terpenting, nakhoda badan pengganti BP Migas, bukan bangkai intelektual,” sebut Muin, yang dikenal sebagai ahli perminyakan dan lama berkarir di lembaga internasional Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).

(Martin Bagya Kertiyasa)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya