Investor Asing Inginkan Kepastian Hukum

Widi Agustian, Jurnalis
Selasa 22 Januari 2013 10:26 WIB
Ilustrasi. (Foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Investor asing menginginkan kepastian hukum guna mendukung dunia usaha di Indonesia. Hal ini seperti yang tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI).

Dari 120 responden PMA (Penanaman Modal Asing), ternyata mayoritas lebih menginginkan kepastian hukum dibanding mendapatkan insentif dari pemerintah. "Sebanyak 89 persen menginginkan produk hukum yang lebih baik untuk menjamin kelanjutan investasi mereka di sini," tutur pakar Hukum Keuangan Negara, Universitas Indonesia Dian Puji Simatupang, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/1/2013).

Padahal, Asia Business Outlook yang dikeluarkan oleh Economist Corporate Network awal tahun ini menobatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi ketiga di Asia setelah China dan India. Rupanya hal tersebut belum tentu membuat para Penanaman Modal Asing (PMA) yang sudah beroperasi di Indonesia ikut meningkatkan investasinya.

Kepastian hukum ini, lanjut Dian, merupakan instrumen utama dalam menciptakan pertumbuhan investasi para PMA. Tanpa kepastian hukum yang jelas, malah justru akan membuat iklim usaha yang tak sehat.

Sebanyak 120 responden yang menjadi narasumber tersebut berasal dari berbagai sektor usaha, seperti migas, infrastuktur, ritel hingga perusahaan investasi.

"Rata-rata PMA yang menjadi narasumber kami sudah beroperasi sekira 10 tahun di Indonesia," katanya.

Beberapa kasus ketidakpastian hukum yang dikemukakan oleh PMA antara lain mengenai dimenangkannya gugatan Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd terhadap Merrill Lynch International Bank Ltd.

Di mana Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan Renaissance yang dimiliki Prem Harjani berhak mendapat ganti sebesar Rp251 miliar. Padahal sebelumnya di Pengadilan Tinggi Singapura, telah memutuskan bahwa Prem Harjani telah melakukan penipuan dan Renaissance telah mengakui utangnya kepada Merrill Lynch.

Tak heran jika banyak kasus PMA yang lebih memilih menghindari berperkara di pengadilan Indonesia. Seperti kasus yang dialami Medley Opportunity Fund di tahun 2012. Ketika berperkara dengan pengusaha lokal, perusahaan asal AS ini lebih memilih pengadilan di Inggris dan Singapura.

Begitupun dengan Churchill Mining, perusahaan asal Inggris, tahun lalu juga memilih mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington, AS saat bersengketa dengan pemerintah RI dalam kasus pencabutan izin tambangnya.

"Selain itu ada juga soal Chevron. Tapi itu hanya beberapa contoh saja," ujarnya.

Menurut Dian, ada tiga hal yang menjadi perhatian utama PMA. Pertama yaitu produk hukum yang menciptakan kebingungan karena multitafsir.

"Jika produk hukumnya multitafsir, maka siapa yang harus dijadikan acuan," katanya.

Yang kedua yaitu, sistem hukum peradilan dimana Indonesia itu menganut pada hukum Belanda, tetapi ketika ada perkara, banyak menggunakan dasar hukum dan berubah-rubah. Sedangkan yang ketiga yaitu Risiko Politik. Di mana setiap pergantian pejabat maka kebijakan yang dibuat juga mengalami perubahan sehingga membingungkan investor.

(Widi Agustian)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya