Reformasi struktural yang terus digagas untuk mengubah ketergantungan terhadap sektor SDA menjadi kegiatan industri dan jasa justru tidak diimbangi dengan layanan untuk meningkatkan kapasitas SDM. Kegagalan transformasi struktural yang paling banyak terjadi justru pada daerah yang sebelumnya berbasis pertanian. Penyebabnya, mereka rata-rata memiliki tingkat kesadaran dan akses pendidikan yang relatif rendah, serta keterampilan di bidang lain (di luar pertanian) yang juga relatif terbatas.
Ekspektasi peningkatan kesejahteraan melalui ekspansi ke sektor industri dan jasa mengalami kegagalan karena tidak didukung dengan link and match kebijakan. Ketiga, majalah Economist menyebutkan praktik perburuan rente menjadi satu di antara faktor pendukung ketimpangan. Peringkat indeks kroni kapitalisme (crony-capitalism index) Indonesia berada di urutan ketujuh dari 22 negara yang disurvei pada 2016.
Baca juga: Kompleksnya Kemiskinan dan Ketimpangan RI di Mata Menko Darmin
Urutan ini lebih buruk dibandingkan satu dekade sebelumnya yang masih menempatkan Indonesia di peringkat ke-18 dunia. Untuk mengatasi persoalan tersebut, apa saja langkah solutifnya? Sebagai negara penganut aliran Keynesian, peran pemerintah akan selalu berpotensi sebagai pembeda.
Pemerintah memiliki akses untuk mengubah struktur ketimpangan melalui regulasi dan kebijakan fiskal. Secara teoritis, dua fungsi dasar tersebut seyogianya mampu meningkatkan keadilan dalam pembagian kue pembangunan. Jumlah dana transfer (desentralisasi fiskal) ke daerah dan desa pada setiap tahun cenderung terus meningkat signifikan. Namun, yang mengherankan mengapa hasilnya justru semakin memperburuk ketimpangan.
Dalam pandangan penulis, penyebab mendasarnya adalah ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi dan sistem informasi, serta pembangunan infrastruktur yang selama ini masih terkonsentrasi hanya di beberapa wilayah tertentu. Dana desa sempat diagung- agungkan sebagai sarana untuk membentuk kutub pertumbuhan ekonomi yang baru dan sekaligus untuk memperbaiki gap pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Namun, berita mengenai penyelewengan pengelolaan dana desa di beberapa daerah sangat mungkin membuat ekspektasi publik kembali berubah. Kejadian ini memberikan pelajaran penting bahwa birokrasi pengelolaan keuangan negara masih memiliki celah di beberapa bagian mendasarnya. Pada level pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/ kota), proses pengelolaannya juga membutuhkan daya perbaikan. Komposisi pengeluaran untuk kepentingan belanja pegawai jumlahnya masih terlalu mendominasi.
Berdasarkan data DJPK Kemenkeu (2017), rata-rata belanja pegawai untuk pemerintah daerah pada 2015 mencapai 40,63% dari total belanja. Sementara untuk pengeluaran yang lebih friendly dengan aspek pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan seperti belanja barang dan jasa serta belanja modal, masing-masing hanya mencapai 21,41% dan 24,87%.