Ketimpangan: Buatan atau Alamiah?

Koran SINDO, Jurnalis
Senin 14 Agustus 2017 11:23 WIB
Ilustrasi: Okezone
Share :

Dari sisi makro, realisasi pembangunan ekonomi di daerah juga tidak berlangsung secara merata. Daerah-daerah di Pulau Jawa terus memperkukuh dirinya sebagai kontributor tertinggi untuk urusan pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional. Dalam enam tahun terakhir saja, rata-rata kontribusinya mencapai 57% dari total PDB Indonesia.

Sementara daerah di kawasan timur seperti Maluku, Papua, dan Papua Barat jika diagregatkan pun hanya menikmati potongan terkecil dengan rata-rata tidak lebih dari 2%. Curhatan menko perekonomian terkait apresiasi masyarakat yang rendah terhadap prestasi pertumbuhan ekonomi pada akhirnya menemukan jawaban.

Baca juga: Ternyata! Perdebatan Ketimpangan dan Pertumbuhan Ekonomi Sudah Ada sejak 1970

Bagi 40% masyarakat yang bermukim pada kategori berpenghasilan rendah, angka-angka pertumbuhan hanyalah gambaran klise karena pertumbuhan ekonomi tidak banyak berdampak pada kesejahteraan mereka.

Survei dari World Bank (2015) juga mengatakan hal demikian. Bagi penduduk kelas menengah ke bawah, lebih baik pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah dari posisi yang sekarang, namun bisa memperbaiki jurang ketimpangan. Sistem perpajakan yang diharapkan bisa memberikan efek keadilan pada kenyataannya juga tidak kunjung menampakkan harapan yang lebih cerah.

Fenomena unik yang terkait dengan ketimpangan, daerah- daerah yang kaya potensi sumber daya alam (SDA), ironisnya justru menjadi kantong-kantong kemiskinan nasional. Ada dugaan yang menarik mengapa fenomena itu bisa terjadi. Pertama, upah riil harian buruh tani sejak 2014 relatif konstan.

Hukum kelangkaan tenaga kerja (the law of scarcity of labor) di sektor buruh tani bisa dikatakan sebagai sebuah anomali karena tidak berdampak banyak terhadap peningkatan upah buruh tani. Inflasi pada komoditas kelompok bahan makanan yang dalam lima tahun terakhir berada di kisaran 7,64% juga tidak berefek signifikan terhadap pendapatan para petani.

Karena pekerjaan di sektor pertanian juga tidak cukup menjanjikan, laju alih fungsi lahan dan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian menjadi semakin sulit dikendalikan. Jumlah pekerja bebas (buruh) di pertanian terus menyusut dari sebelumnya 6,28 juta pada Februari 2007 menjadi 5,36 juta pada Februari 2017. Kedua, tidak ada daya dukung yang optimal untuk menjembatani proses transformasi keterampilan tenaga kerja.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya