JAKARTA - Masalah ketimpangan selalu menjadi momok. Dimensi ketimpangan biasanya direfleksikan berdasarkan komparasi pendapatan dan/atau pengeluaran, baik yang berlaku melalui perbandingan antar-penduduk maupun antardaerah/wilayah.
Fenomena ketimpangan tidak hanya terjadi secara eksklusif di Indonesia karena negara-negara lain yang terhitung lebih maju dan di sebagian besar negara berkembang lain juga menghadapi persoalan yang sama. China yang dalam sekian dekade terakhir berhasil membangun ekonomi dengan hebat ternyata juga menghadapi problematika ketimpangan, khususnya antara wilayah China Barat dan Timur.
Raksasa industri seperti negara Jerman pun turut dihantui bayangan ketimpangan antara Jerman Utara dan Selatan. Negara Eropa lain seperti Italia juga masih berupaya meredam gejolak ketimpangan antara wilayah utara dan selatan. Nah, sekarang bagaimana dengan cerita mengenai ketimpangan di Indonesia?
Pada masa lalu kita sempat kerepotan memproduksi kebijakan agar pembangunan antara kawasan timur Indonesia tidak kalah hebatnya dengan wilayah barat. Era Reformasi 1998 sempat dianggap memberikan angin segar melalui pemberlakuan otonomi daerah. Kebijakan pembangunan yang dulunya dimonopoli pemerintah pusat mulai ditransfer secara bertahap kepada pemerintah daerah.
Baca juga: Simak! Faktor Penyebab Ketimpangan RI dan Langkah Memberantasnya
Jika keberhasilan pembangunan diukur dari capaian pertumbuhan ekonomi, kita boleh sedikit membusungkan dada. Selama periode 2001-2016 tercatat rata-rata pertumbuhan ekonomi kita berada di sekira 5,31% (BPS, diolah). Meskipun pertumbuhan ekonomi kita selalu positif, tetap saja kita harus bertekuk lutut terhadap fakta ketimpangan. Akselerasi pertumbuhan ekonomi tidak banyak membantu mengarahkan perubahan indeks gini rasio (sebagai satu di antara parameter ketimpangan) agar hasilnya jauh lebih baik.
Pada fase awal otonomi daerah, indeks gini rasio kita masih berada di angka 0,30. Setelah hampir dua dasawarsa berselang justru indeks gini rasio kita semakin melebar hingga menjadi 0,393. Bahkan, pada periode 2011- 2014 sempat meroket pada angka 0,41. Situasi ini baru menggambarkan ketimpangan dari sisi pengeluaran antar-penduduk. Kalau kita geser untuk melihat pola ketimpangan dari sisi pendapatan dan kekayaan, situasinya mungkin lebih terasa menyesakkan.
Lembaga keuangan internasional Credit Suisse (2016) menyatakan, Indonesia menjadi negara dengan tingkat ketimpangan kekayaan terburuk keempat di dunia. Sebesar 1% penduduk terkaya di Indonesia mampu menguasai 49,3% dari total kekayaan nasional. Jika rasionya kita tambahkan lagi, 10% orang terkaya mampu menguasai 75,7% total kekayaan nasional.