JAKARTA - Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai kebijakan keterbukaan informasi perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) yang dilakukan Pemerintah diragukan dapat menaikkan penerimaan perpajakan.
Pasalnya pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan di RAPBN 2018 sebesar Rp1.609,4 triliun atau tumbuh 9,3% dari tahun 2017.
"Kemudian bicara AEoI, ketika sudah dapat dari Singapura, Macau, AS, kalau sudah dapat data mulai dari proses data dipegang DJP sampai dselidiki dan terbukti bersalah, berapa lama prosesnya? Apa 2018 bisa langsung masuk uang dari AEoI ke kas negara? Saya rasa tidak. Karena prosesnya panjang," ungkapnya di Cikini, Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Baca Juga: Keterbukaan Informasi Pajak Disahkan, Begini Janji Menkeu Sri Mulyani
Selain itu, dia menilai penerimaan perpajakan tahun depan terlalu ambisius karena terlalu tinggi. Padahal saat ini penerimaan perpajakan hingga semester I tidak sampai 50%. Sehingga nantinya pemerintah bisa saja menaikkan pajak dan menyusahkan masyarakat.
"Ketika pemerintah terlalu ambisius, penerimaan pajak terlalu besar, ketika orang sudah bayar tax amnesty, bayar uang tebusan, ke depannya anda harus taat bayar pajak. Banyak cerita di daerah setelah ikut tax amnesty tagihan pajaknya meningkat berkali-kali lipat," jelasnya.
Baca Juga: Sah! Disahkan Jadi UU, Keterbukaan Informasi Pajak Bisa Dimulai
Bhima menjelaskan, jika hal tersebut terjadi maka akan semakin banyak nantinya masyarakat membeli harta yang ilegal karena takut pajaknya semakin mahal.
"Tagihan pajak makin besar, orang justru akan membeli sesuatu di bawah tangan. Akan kontraproduktif terhadap penerimaan pajak itu. Tax amnesty justru ciptakan underground economy baru," tukasnya.
(Dani Jumadil Akhir)