JAKARTA - Pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas bumi semakin bergulir. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Masa Manik mengatakan, penggabungan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk ke tubuh perusahaan tak akan memberikan banyak kontribusi terhadap keuangan perusahaan.
Tercatat, skema holding BUMN industri migas terdiri atas PT Pertamina (Persero) sebagai induk holding dengan kepemilikan saham 100% dimiliki oleh negara yang akan menguasai PT PGN sebagai anak holding melalui pengalihan 57% kepemilikan saham.
Baca Juga: Komisi VII: Holding BUMN Migas Tunggu RUU Selesai
Strategi pelaksanaan holding migas di jangka pendek yaitu quick wins dengan mengintegrasikan PT Pertamina (Persero) dan PT PGN (Persero) Tbk yang dilanjutkan sinergi operasional dan komersial di jangka menengah dan panjang.
"Tahun ini kami menargetkan laba bersih Pertamina bisa di angka USD2,3 miliar sampai USD2,4 miliar. Jika PGN ke depannya bergabung, (saya pikir) tidak akan membantu banyak karena perusahaan ini sangat kecil," ujar Elia seperti dikutip, Jakarta, Jumat (15/12/2017).
Hal ini dikatakan Elia saat memberikan sambutan di acara Wisuda IPMI International Business School di Jakarta, Rabu 13 Desember 2017.
Baca Juga: Pertamina Ambil Alih PGN, Apa Kata BPK?
Seperti diketahui, panasnya isu pembentukan BUMN Migas terjadi sesaat Menteri BUMN Rini Soemarno meminta manajemen Pertamina merestrukturisasi direktorat gas bumi. Sebab, jika holding BUMN migas direalisasikan maka fungsí penugasan dan bisnis gas bumi Pertamina akan diserahkan ke PGN yang sudah lebih dulu memiliki bisnis utama di sektor hilir gas bumi. Elia pun meminta seluruh pihak untuk tidak menyamakan antara Pertamina dengan PGN.
"Coba kita lihat pendapatannya (PGN)? Kecil kok. Ini adalah fakta yang bisa dilihat. Pertamina sebagai perusahaan negara terbesar, jadi tidak bisa dibandingkan dengan PGN," kata Elia.
Dirinya sesumbar bahwa Pertamina tidak sulit memimpin jika PGN benar-benar masuk ke dalam holding BUMN Migas. "Saya akan menempatkan sekelas 1 VP untuk mengelola (PGN) jika bergabung. Kita akan berubah soalnya (holding BUMN)," imbuh Elia
Proses pembentukan holding BUMN migas saat ini masih dalam proses. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai holding migas telah melalui proses harmonisasi. Kajian bersama Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan tentang holding pun telah dimutakhirkan dan sedang dalam proses penyelarasan final.
“Diharapkan pada Triwulan I tahun 2018 semua proses holding BUMN Migas akan selesai,” tegas Menteri BUMN Rini Soemarno di berbagai kesempatan.
Sementara itu, kebijakan holdingisasi BUMN menuai penolakan bukan hanya dari Komisi VI DPR yang memang sebagai mitra kerja Kementerian BUMN, tapi juga penolakan datang dari komisi terkait yakni Komisi XI mengenai keuangan negara serta Komisi VII mengenai penataan badan usaha migas.
Seperti disampaikan Ketua Komisi VII DPR, Gus Irawan Pasaribu bahwa rencana holding BUMN sektor migas oleh Menteri Rini Soemarno, dengan mencaplok PT Perusahaan Gas Negara (PGN) ke dalam PT Pertamina, sama sekali tidak sesuai dengan rencana penataan BUMN migas oleh Komisi VII melalui Revisi UU Migas yang pembahasannya tengah berguli di Komisi VII.
"Rencana holding migas itu tidak sesuai dengan bahasan UU Migas, kita maunya memfokuskan bisnis BUMN. Pertamina fokus minyak sedangkan PGN fokus bisnis gas. Bukan malah Pertamina mencaplok PGN," kata dia.
Oleh karena itu lanjut Gus Irawan, anak perusahaan Pertamina yang menjalankan bisnis gas, mesti dileburkan ke dalam PGN supaya tidak mengalami kerugian sebagaimana temuan BPK dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017.
Lalu dengan penataan semacam itu, DPR berkeyakinan pengawasan terhadap BUMN akan semakin efektif, karena ungkap Gus Irawan; disinyalir cucu perusahaan Pertamina yakni Pertagas Niaga yang merupakan anak dari perusahaan Pertamina Gas (Pertagas) melakukan aksi broker hingga membuat harga gas di Medan pada waktu itu menjadi sangat mahal mencapai USD 12,28 per MMBTU.
"Pertagas harus dilebur ke PGN supaya efisien. Kalau gini semua ambil margin, konsumen yang dirugikan. Belum lagi yang di Dapil saya Medan itu, cucu Pertamina, Pertagas Niaga jadi trader calo dan mengambil USD 0,7 per MMBTU. Ini yang membuat industri di Medan teriak karena harga gas kemahalan dan produknya tidak mampu bersaing," tutur dia.
(Dani Jumadil Akhir)