Sementara itu, kebijakan holdingisasi BUMN menuai penolakan bukan hanya dari Komisi VI DPR yang memang sebagai mitra kerja Kementerian BUMN, tapi juga penolakan datang dari komisi terkait yakni Komisi XI mengenai keuangan negara serta Komisi VII mengenai penataan badan usaha migas.
Seperti disampaikan Ketua Komisi VII DPR, Gus Irawan Pasaribu bahwa rencana holding BUMN sektor migas oleh Menteri Rini Soemarno, dengan mencaplok PT Perusahaan Gas Negara (PGN) ke dalam PT Pertamina, sama sekali tidak sesuai dengan rencana penataan BUMN migas oleh Komisi VII melalui Revisi UU Migas yang pembahasannya tengah berguli di Komisi VII.
"Rencana holding migas itu tidak sesuai dengan bahasan UU Migas, kita maunya memfokuskan bisnis BUMN. Pertamina fokus minyak sedangkan PGN fokus bisnis gas. Bukan malah Pertamina mencaplok PGN," kata dia.
Oleh karena itu lanjut Gus Irawan, anak perusahaan Pertamina yang menjalankan bisnis gas, mesti dileburkan ke dalam PGN supaya tidak mengalami kerugian sebagaimana temuan BPK dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017.
Lalu dengan penataan semacam itu, DPR berkeyakinan pengawasan terhadap BUMN akan semakin efektif, karena ungkap Gus Irawan; disinyalir cucu perusahaan Pertamina yakni Pertagas Niaga yang merupakan anak dari perusahaan Pertamina Gas (Pertagas) melakukan aksi broker hingga membuat harga gas di Medan pada waktu itu menjadi sangat mahal mencapai USD 12,28 per MMBTU.
"Pertagas harus dilebur ke PGN supaya efisien. Kalau gini semua ambil margin, konsumen yang dirugikan. Belum lagi yang di Dapil saya Medan itu, cucu Pertamina, Pertagas Niaga jadi trader calo dan mengambil USD 0,7 per MMBTU. Ini yang membuat industri di Medan teriak karena harga gas kemahalan dan produknya tidak mampu bersaing," tutur dia.
(Dani Jumadil Akhir)