Target Penerimaan Pajak 2018: Ambisius dan Sulit Tercapai

Lidya Julita Sembiring, Jurnalis
Senin 08 Januari 2018 14:34 WIB
Ilustrasi: (Foto: Shutterstock)
Share :

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali memberikan tugas yang berat kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Sebab, Ditjen Pajak diminta mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp1.424 Triliun di 2018. Angka ini jauh lebih tinggi dari target yang ada di 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Padahal untuk 2017, Ditjen Pajak belum mampu mengumpulkan pajak secara full.

Dari data DJP, hingga 31 Desember 2017 hanya mampu mengumpulkan pajak sebesar Rp1.151 triliun atau 89,7% dari target sebesar Rp1.283,6 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017. Meski tidak penuh 100% penerimaan pajak di tahun lalu ini mengalami pertumbuhan sebesar 4,08% (yoy) dibandingkan 2016.

Baca Juga: Kejar Pajak, Pertukaran Data Nasabah Bank Dioptimalkan

Dengan pencapaian ini artinya ada shortfall sebesar Rp132 triliun. Bahkan penerimaan di tahun lalu masih dibantu oleh program tax amnesty yang berlangsung selama 3 bulan dengan tambahan Rp12 triliun untuk penerimaan 2017.

Lalu bagaimana dengan target di 2018 yang lebih tinggi dan tanpa tax amnesty?

Pengamat Pajak Yustinus Prastowo mengatakan, meski pertumbuhan penerimaan pajak 2017 mengalami pertumbuhan dibandingkan 2016 dan trennya ke arah positif, tapi hal itu belum cukup kuat untuk menopang APBN 2018. Oleh karena itu, dia menilai reformasi pajak yang akan dilanjutkan di tahun ini agar bisa dipercepat sehingga DJP bisa meningkatkan kapasitas dalam pemungutan pajak, mempunya administrasi yang lebih baik, dan kepastian hukum meningkat.

"Revisi target pajak 2018 menjadi opsi yang dapat diambil agar APBN 2018 tetap kredibel dan realistis. Kenaikan yang terlalu tinggi dan keterbatasan kapasitas rawan menggelincirkan kita pada pilihan jangka pendek yang pada gilirannya dapat menciptakan praktik pemungutan yang tidak adil, misalnya pembayaran pajak di muka atau kontribusi di akhir tahun yang memberatkan wajib pajak, terutama BUMN," ungkap Yustinus kepada Okezone.

Baca Juga: Kementerian ESDM Sumbang Rp178,1 Triliun untuk Penerimaan Negara

Yustinus melanjutkan, moderasi pemungutan pajak di 2018 menjadi pilihan bijak di tengah kondisi ekonomi yang sedang bergerak menuju pemulihan dan situasi sosial-politik yang menghangat. Meski penegakan hukum yang tegas tetap dapat dilakukan, namun sebaiknya didasarkan pada analisis risiko yang baik.

Kemudian, Penerapan Compliance Risk Management (CRM) yang mampu memilah wajib pajak berdasarkan risiko dinilai akan sangat membantu upaya peningkatan kepatuhan sukarela. Serta perbaikan kualitas belanja APBN yang semakin baik juga dinilai akan mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan pajak.

Baca Juga: Skema Baru Tunjangan Kinerja Pegawai Pajak Berlaku Januari 2018, Ini Besarannya

Dia melanjutkan, meski tantangan cukup berat, tahun 2018 memiliki peluang untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui implementasi perjanjian internasional dengan melihat data nasabah untuk keperluan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI). Di mana dengan AEoI maka DJP diyakini bisa memungut pajak yang tidak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga WNI yang berada di luar negeri.

"AEoI akan memberi asupan informasi keuangan yang lebih akurat dan kaya. Maka perlu persiapan sungguh-sungguh baik dari segi akuntabilitas, teknis, sumber daya manusia, dan regulasi – untuk memastikan pemanfaatan data berjalan optimal dengan risiko minimal," jelasnya.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya