Aturan ini juga berpotensi menurunkan produksi IHT di dalam negeri karena pembatasan justru dilakukan kepada tiga jenis tembakau utama yang menjadi bahan baku rokok yaitu Virginia, Burley, dan Oriental. Padahal, produksi tembakau Virginia dan Burley oleh petani lokal masih sangat minim. Bahkan, tembakau Oriental sama sekali belum di produksi di Indonesia.
“Dengan pembatasan impor tembakau, industri rokok bisa hancur. Rokok itu sumber pemasukan terbesar ketiga bagi negara dan ini juga untuk anggaran pembangunan negara,” kata Bambang.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp148,23 triliun. Jum lah ini setara dengan 95,4% dari total target penerimaan cukai sebesar Rp155,4 triliun. Karena itu, kebijakan pengetatan impor harus berpatokan dengan kondisi di lapangan. Saat ini Indonesia masih kekurangan tembakau 40% untuk kebutuhan nasional.
Baca Juga: Pengetatan Impor Tembakau Dinilai Tidak Tepat
“Pabrik rokok harus hidup terus karena itu pasok an tembakau mesti tercukupi. Sebagian besar kekurangan tembakau memang harus diisi dari impor,” kata dia.
Belakangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita agar menunda keberlakuan Permendag 84/ 2017 tersebut.
Pada 20 November 2017 Darmin mengirimkan surat bernomor S-310/ M.EKON/ 11/2017 tentang Penundaan Keberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik.
(Rakhmat Baihaqi)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)