Persoalan Kemiskinan
Pengelolaan keuangan negara tidak hanya berhenti pada perspektif bagaimana caranya untuk sekadar mendapatkan dan/atau menghabiskan anggaran belanja. Persoalan tersebut lebih tepatnya diposisikan sebagai outcome karena masih ada dimensi lanjutan sebagai hasil (output) atas kebijakankebijakan anggaran yang di laku kan pemerintah. Di Indo nesia, target dari APBN biasanya dikaitkan dengan asumsi makro ekonomi yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi, pengendalian inflasi, nilai tukar, suku bunga, harga minyak, serta penanganan ketimpangan dan kemiskinan.
Nah, di antara berbagai asumsi tersebut, persoalan kemiskinan bisa dikatakan sebagai target yang dapat dianggap sebagai produk betul-betul paling akhir dari rentetanoutput. Logika sederhananya bisa dibilang apa pun kebijakan yang ditempuh pemerintah muaranya adalah mengentaskan jumlah penduduk miskin di wilayah kekuasaannya. Kemiskinan merupakan satu contoh problematika yang harus ditanggung pemerintah. Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan care terhadap kemiskinan.
Pemerintah bisa dianggap sebagai satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab untuk segera menyelesaikannya. Hal ini juga bisa dikaitkan dengan kebijakan utang yang akhir-akhir ini jumlahnya kian menggelembung. Penulis lantas membayangkan bahwa jumlah utang yang besar ini seharusnya dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Kebijakan utang (dengan segala risikonya) memang sebaiknya dikelola untuk mendongkrak produkti vitas dalam negeri. Para penduduk miskin juga akan lebih baik lagi jika ikut menikmati hasil utang dengan fasilitas program-program pemerintah yang menunjang perbaikan taraf hidupnya. Jadi secara umum utang yang lebih tinggi memang sudah sepantasnya berpengaruh lebih positif lagi pada program penanganan kemiskinan.
Catatannya, dana pinjaman tersebut harus diarahkan pada sektor-sektor produktif, tidak sekadar “memanjakan” penduduk miskin sehingga tidak menyelesaikan inti persoalan. Kunci utama mengatasi persoal an kemiskinan adalah dengan memfasilitasi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak melalui program-program yang mendorong produktivitas. Misalnya program kredit modal, subsidi energi untuk produksi, pengem bangan keterampilan dan vokasi, serta fasilitas peningkatan daya saing. Andaikata penduduk miskin serta masyarakat yang tingkat perekonomiannya sedikit di atas garis kemiskinan mampu diangkat harkat martabatnya, mungkin gejolak mengenai utang akan lambat laun mampu segera diredam.
Karena publik akan menyaksikan sendiri ba gaimana kredibilitas pemerintah di dalam pengelolaan keuangan negara. Selain itu de ngan bertambahnya jumlah penduduk yang sejahtera, pemerintah juga akan diuntung kan dengan adanya peluang untuk mengekstensifikasi (mem perluas) basis pajak sehingga akan semakin banyak pemasukan bagi negara untuk meng akselerasi pembangunan. Semoga!
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
(Fakhri Rezy)