JAKARTA - Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kartu kredit pemerintah tidak akan kena bunga atau denda. Adapun untuk mencegah adanya biaya bunga atau denda, maka kartu kredit dibayarkan sebelum jatuh tempo, tentu saja setelah dilakukan verifikasi rincian tagihan.
Penjelasan tersebut merupakan jawaban atas kritikan mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli ke Menteri Keuangan Sri Mulyani soal kartu kredit pemerintah. Rizal Ramli menyebutkan adanya potensi biaya dan bunga kredit yang tinggi hingga 30% dari transaksi kartu kredit tersebut.
"Pembayaran tagihan dilakukan dengan cara over booking dari rekening bendahara ke rekening bank penerbit kartu. Tidak ada biaya transaksi sama sekali. Biaya iuran tahunan, juga dibebaskan," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (27/3/2018).
Baca Juga: Dengan Kartu Kredit Pemerintah, Tidak Ada Kuintasi Palsu Lagi
Dia melanjutkan, pada prinsipnya kartu kredit pemerintah digunakan oleh dua kelompok, yaitu pegawai yang tugasnya berbelanja kebutuhan sehari-hari perkantoran yang dalam pemerintahan disebut Pejabat Pengadaan dan pegawai yang melaksanakan pembayaran biaya perjalanan dinas, seperti pembayaran tiket atau hotel.
Tidak sembarangan, lanjutnya, pemegang Kartu Kredit harus ditetapkan oleh Kepala Kantor atau pejabat yang berwenang.
"Untuk menjaga integritas, pemegang Kartu Kredit juga harus menandatangani surat pernyataan untuk tidak menyalahgunakan kartu kredit, dan bila terjadi penyalahgunaan bersedia untuk dituntut ganti rugi," imbuh dia.
Pertanggungjawaban penggunaan kartu kredit dilakukan dengan mengumpulkan bukti transaksi, membebankan ke jenis pengeluaran dan mencocokkan dengan rincian tagihan.
Melalui perjanjian kerja sama, saat ini terdapat empat bank BUMN yang menjadi penerbit kartu kredit, yaitu Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI dan Bank BTN.
Baca Juga: Penjelasan Sri Mulyani untuk Rizal Ramli agar Tak Bingung soal Kartu Kredit Pemerintah
Dia menyatakan, dengan kartu kredit ini, belanja operasional menjadi lebih efisien, karena pemerintah dapat memperoleh barang/jasa terlebih dahulu, melunasi kemudian, sehingga kegiatan dapat berjalan lebih cepat dan lancar. Petugas juga tidak perlu membawa uang dalam jumlah besar dalam pembayaran kegiatan operasionalnya.
"Selain itu, Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Negara dapat mengurangi uang tunai yang beredar di bendahara atau pegawai-pegawai yang melaksanakan pengadaan atau perjalanan dinas.," jelasnya.
Sebelumnya, Rizal Ramli mengepret Sri Mulyani tentang pemakaian kartu kredit sebagai pembayaran negara.
“Saya bingung Menkeu mengeluarkan aturan pakai Kartu Kredit. Bagaimana itu, biaya transaksinya kan besar, bunga kredit tinggi bisa 30%. Tidak ada di negara lain transaksi kenegaraan pakai kartu kredit. Jangan-jangan ada likuiditas missmatch,” kata Rizal Ramli kemarin malam.
Rizal pun meminta, Komisi XI bertindak tegas terhadap mitra kerjanya, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Pasalnya, transaksi credit card biayanya bakal lebih besar.
"Kami minta DPR, galakan dikit gitu loh. Jangan Menkeu bilang prudent saja," tegasnya.
Selain itu, Rizal Ramli juga menyindir Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kurang inovasi dalam membayar utang negara yang saat ini mencapai Rp4.000 triliun.
"16 tahun lalu ketika saya jadi Menko, kami tukar utang dengan utang sama Jerman. Kalau dilakukan hari ini karena isu lingkungnan besar, di Eropa, Jepang dan lainnya. Mungkin bisa dapat USD5-10 miliar. Tapi pemerintah hari ini tidak kreatif kurangi beban utang," ujarnya.
Kemudian, lanjut Rizal Ramli, pemerintah bisa tukar utang berbunga mahal dengan murah. Seperti kerjasama ketika itu dengan Kuwait, pemerintah memberikan proyek pembangunan Jembatan Pasopati, Bandung.
"Kalau kretif kita tidak sekedar jadi antek. Saya berikan contoh, Pakistan perangi Terorisme, engggak punya uang tapi akhirnya dikasih uang. Jadi pemerintah bisa lebih canggih, sehingga tekanan terhadap CAD tidak sebesar hari ini," tuturnya.
Menurut Rizal, Menteri Keuangan Sri Mulyani jangan hanya bicara perekonomian prudent, padahal buktinya semua defisit, seperti primer balance Rp68,2 triliun, negatif. Artinya kita meminjam untuk bayar pokok dan cicilan plus lebih besar.
"Itu buat primer balance negatif dan itu sudah lampu kuning. Kalau ada Menkeu katakan prudent come on. 1998 defisit kita kecil, tapi begitu ada angin topan terjadi krisis. Jadi saya minta Menkeu jangan sembarangan, jangan ngomong prudent, kalau itu primer balance positif bukan gali lobang bikin lebih dalam," ujarnya.
(ulf)
(Rani Hardjanti)