JAKARTA - Pemerintah berencana mencabut kewajiban memasok batu bara dalam negeri (domestik market obligation/DMO). Wacana tersebut muncul dalam Rapat Terbatas antara Menteri Kabinet Kerja dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Merdeka beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, pencabutan DMO batu bara akan berdampak kepada keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Bahkan, perusahaan listrik milik negara itu akan terancam bangkrut.
Kesimpulan tersebut, lanjut Tulus, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN.
Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal USD70 per metric ton.
"Karena itu, rencana pencabutan harga DMO Batubara bukan hanya memberatkan keuangan PLN, tapi juga mengancam keberlangsungan BUMN listrik tersebut," ujarnya dalam sebuah diskusi energi MNC Trijaya FM di Warung Daun, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Jika keuangan PLN bermasalah, maka dampaknya akan terasa kepada konsumen. Sebab, jika harganya semakin mahal yang didapatkan oleh PLN, maka perusahaan akan secara otomatis menaikan tarif listrik.
"Pencabutan DMO batu bara pasti akan berdampak pada konsumen, karena PLN harus menyelamatkan keuangannya, salah satunya dengan cara menaikkan tarif," jelasnya.
Tulus juga menyoroti mengenai kedaulatan negara pada proses pencabutan DMO ini. Karena keuangan PLN yang terganggu maka perusahaan listrik BUMN tersebut harus menunggu iuran dana dari perusahaan perusahaan batubara.
"Soal harga diri BUMN PLN yang harus menunggu iuran dana dari perusahaan-perusahaan batu bara. Menurut YLKI, PLN adalah aset bangsa tidak layak diperlakukan seperti itu," jelasnya.
(feb)
(Rani Hardjanti)