Ini karena produktivitas per hektare (ha) sawit Indonesia masih rendah, yakni hanya 2 ton per ha, sementara Malaysia sudah 10 ton per ha. Namun, intensifikasi lahan untuk menaikkan produktivitas membutuhkan waktu lama, riset yang mahal, termasuk pencarian bibit unggul, pupuk yang pas, dan lainnya. “Di titik ini pemerintah harusnya berimbang melihat persoalan secara komprehensif,” katanya. Bhima menjelaskan, investasi paling besar di sektor pertanian ada di perkebunan kelapa sawit. Saat ini Indonesia membutuhkan dolar untuk memperkuat devisa.
Di sisi lain, ekspor sawit sebagai komoditas primer penting juga harus didukung dengan kemudahan kebijakan sehingga neraca dagang bisa berbalik menjadi surplus. Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Ins titute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan, Inpres No 8/2018 merupakan inpres ketiga yang dikeluarkan pemerintah. Dua inpres sebelumnya terbukti gagal, tapi ironisnya, pemerintah membuat inpres yang sama. “Inpres yang terbukti gagal kok tetap dilanjutkan,” kata Tungkot. Selama ini pemerintah mengatakan bahwa sawit merupakan penyumbang devisa, sebagai bahan baku biodiesel, penopang dan penyelamat ekonomi nasional, serta sebagai komoditas strategis nasional. Namun, ternyata tiba-tiba sawit dimoratorium.
Pemerintah tidak konsisten dengan apa yang dikatakan dan apa yang di per buat. “Saya tahu, moratorium sawit ini datangnya dari desakan-desakan LSM. Kasihan juga Presiden, menterinya yang gagal kok Presiden yang harus bertanggung jawab,” katanya. Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa mengatakan kebijakan ini sangat berlebihan. Menurutnya, kalau pemerintah ingin mengevaluasi kebun sawit yang ada di kawasan hutan tidak perlu dilakukan moratorium. “Sebab itu pasti mengganggu investasi dan perekonomian. Pemerintah ini kok tidak belajar dari penerapan moratorium sebelumnya,” katanya.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Jangan Tukar Kawasan Hutan dengan Kebun Sawit