Di Indonesia, tugas utama pengendalian inflasi secara tegas dan jelas (melalui Undang-Undang Bank Indonesia) dibebankan kepada Bank Indonesia (BI) selaku otoritas kebijakan moneter. Dalam kebijakan moneter, BI menggunakan kerangka target inflasi atau inflation targeting framework (ITF) sebagai sasaran operasional melalui intervensi suku bunga.
Dari pintu inilah BI memiliki peran untuk menciptakan stabilitas makroekonomi walaupun dalam praktiknya BI harus bekerja sama dengan pemerintah untuk pengendalian sisi penawarannya.
Artinya BI tidak dapat mengampunya sendirian mengingat ada beberapa segmen kebijakan yang mesti dioperasikan secara lintas sektoral (bauran kebijakan). Kebijakan ITF yang diampu BI memiliki karakter yang fleksibel dan dibangun berdasarkan 5 unsur pokok:
Pertama, inflasi tetap merupakan target utama kebijakan moneter. Kedua, pengintegrasian kebijakan moneter dengan kebijakan makro pruden sial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan mendukung stabilitas makro ekonomi. Ketiga, penguatan kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makro ekonomi.
Keempat, penguatan koordinasi kebijakan antara BI dengan pemerintah baik untuk pengendalian inflasi maupun stabilitas sistem keuangan. Dan kelima, penguatan komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
Kelima unsur inilah yang menjadi dasar pertimbangan kebijakan BI dalam upaya menciptakan stabilitas makro ekonomi. Peran BI lebih mudah terlihat dari pengelompokan berdasarkan disagregasi inflasi yang membagi inflasi inti dan non inti.
BI menerjemahkan inflasi inti sebagai komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal yang meliputi nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang, serta ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Adapun pada sisi inflasi noninti BI tidak cukup mampu menjangkaunya karena lebih banyak berkaitan dengan intervensi sektor fiskal seiring adanya volatilitas yang cenderung tinggi.
Inflasi noninti kemudian dideterminasi lagi menjadi dua yang terdiri atas kelompok volatile foods (harga bergejolak) yang relatif dipengaruhi factor-faktor eksternal (misalnya cuaca/iklim, faktor musiman, dan shock akibat bencana) serta kelom pok harga yang diatur pemerintah (administered prices) seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, dan tarif angkutan.
Oleh karena itu dalam menjaga agar inflasi tetap sesuai dengan target yang dicanangkan, BI akan senantiasa membutuhkan kolaborasi dengan pemerintah baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Menyadari pentingnya posisi koordinasi tersebut, BI dan pemerintah berkonsensus dengan membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak 2005 dan pada 2008 dikembangkan hingga skala daerah dengan pembentukan TPI Daerah (TPID).