Dengan kata lain, hal tersebut akan menjadi faktor penggerak penting terhadap kenaikan pasar saham global, permintaan mata uang pasar berkembang, dan komoditas seperti minyak. “Sebaliknya, ini adalah risiko yang dapat menghentikan reli dolar yang telah terjadi sejak Februari,” pungkasnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai rupiah yang melemah dalam dua hari terakhir ini dipengaruhi oleh tren penguatan dolar AS terhadap beberapa mata uang utama seperti euro, pound sterling, yen.
Permintaan pada dolar AS yang meningkat didorong oleh risk averse sentiment karena pelaku pasar masih menunggu perkembangan negosiasi dagang antara pemerintah AS dan China, mengingat pemerintah Amerika Serikat menunda untuk menyesuaikan tarif impor produk China hingga akhir bulan ini.
“Pelaku pasar mengantisipasi skenario terburuk apabila tidak mencapai trade deal. Selain itu, terkait perang dagang, penguatan dolar AS juga pelemahan mata uang utama lainnya,” beber dia.
Euro tertekan oleh rilis data-data ekonomi Jerman dan Euro zone, sementara pound sterling juga dipengaruhi negatif oleh ketidakpastian proses Brexit serta rilis data Inggris yang juga melambat salah satunya data produk domestik bruto (PDB) kuartal IV/2018.
Sementara itu, risiko global cenderung masih tinggi lantaran terdapat kemungkinan terjadinya shutdown pemerintahan AS, mengingat pembicaraan belanja keamanan perbatasan yang diajukan oleh pemerintah AS masih belum disepakati oleh parlemen. “Dari dalam negeri, faktor pelebaran defisit transaksi berjalan pada kuartal IV/2018 masih mendorong peningkatan volatilitas rupiah,” pungkas dia.
(Kunthi Fahmar Sandy)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)