Saat ini, menurut dia, banyak negara anggota WTO yang menetapkan kebijakan perdagangan proteksionis yang bisa berujung saling balas dan merugikan pelaku ekonomi. “Saat ini kita bisa lihat pada kasus perang dagang ASChina.
China menerapkan kebijakan state capitalism dengan mendukung perusahaan-perusahaan mereka, termasuk BUMN, agar kompetitif di pasar internasional dengan berbagai macam subsidi dan insentif,” ujar Eric.
Praktik ini dianggap melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas oleh AS. Sementara AS sendiri makin proteksionis di bawah Trump. Dia menilai, pertemuan G-20 harus diakui bersifat politis dan komunike yang dikeluarkan juga tidak mengikat.
Ekonom BNI Kiryanto sepakat dengan komunike G- 20 mengenai reformasi struktural di WTO atas reformasi kelembagaan di WTO serta bidang investasi dan perdagangan. Menurutnya, WTO harus direformasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan global.
Sementara reformasi bidang investasi dan perdagangan dimaksudkan untuk merespons isu-isu tentang trade war, proteksionisme, populisme, dumping, restriksi investasi, dan daya saing investasi (Global Competitiveness Rank 2019).
“Ada harapan 50% terwujud karena bergantung pada political will AS, Donald Trump, dan Rusia Vladimir Putin yang mendominasi WTO. Walaupun ada kemungkinan reformasi G-20, butuh waktu yang panjang. Karena setiap negara ingin menjadi pemain dominan di ekonomi global,” ujar Kiryanto.
(Feby Novalius)