JAKARTA – Kisruh yang sedang dialami PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) di nilai termasuk kategori hostile take-over menyusul proses pergantian pucuk manajemen yang di luar kelaziman.
Proses hostile take-over (pengambilalihan paksa suatu perusahaan) ini cenderung mengorbankan kinerja perusahaan karena harus menanggung risiko gagal bayar (default ) dari kewajiban buyback obligasi.
Baca Juga: Hari Ini, BEI Panggil Manejemen Jababeka soal Potensi Default
Head of Research Department of Koneksi Capital Alfred Nainggolan menjelaskan, dinamika yang terjadi pada emiten KIJA lebih mengarah pada konflik pemegang saham. Adanya pergantian susunan direksi yang “mengejutkan” menandakan proses pergantian manajemen yang di luar kebiasaan.
“Kejadian seperti ini bisa dikatakan hostile takover, terlebih dengan terdiversifikasinya pemegang saham KIJA memperbesar peluang terjadinya hal itu,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, proses hostile takeover sudah pasti tidak bisa berjalan mulus dan memengaruhi roda usaha. Karena konflik ini akan berujung pada konflik kepemimpinan di perusahaan tesebut.
“Kekhawatiran investor pada KIJA saat ini lebih pada penyelesaian konflik ketimbang munculnya ancaman default dari kewajiban buyback obligasi,” katanya.
Baca Juga: Jababeka Terancam Gagal Bayar Utang
Alfred memaparkan, motif dari hostile takeover adalah memperebutkan penguasaan perusahaan (aset) yang sudah pasti aset tersebut punya nilai (prospek) menarik.
“Latar belakang dan motif yang terlihat memang ke arah hostile takeover,” ucapnya.