Buruh Tak Ingin Kenaikan Upah Dibatasi

Yohana Artha Uly, Jurnalis
Sabtu 03 Agustus 2019 17:10 WIB
Ilustrasi: Okezone
Share :

JAKARTA - Serikat buruh menolak rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dinilai bakal merugikan hak-hak buruh. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi dengan merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan karena dianggap kaku serta tidak ramah investasi, tidaklah tepat.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, alih-alih melakukan perbaikan investasi, arah revisi dinilai malah menekan kesejahteraan buruh. Apalagi jika arahnya adalah untuk menurunkan nilai upah minimum, mengurangi pesangon, hingga membebaskan penggunaan outsourcing di semua lini produksi. 

Dia menyebut alasan para pelaku usaha dan pemerintah mendorong revisi UU Ketenagakerjaan untuk mendongkrak investasi adalah hal yang mengada-ngada.

"Undang-undang ini bunyinya tentang ketenagakerjaan, bukan tentang investasi. Kalau mau revisi ya yang diubah Undang-undang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Perindustrian, Undang-undang Perdagangan, atau Undang-undang Perekonomian Nasional," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (3/8/2019). 

Baca Juga: Ini Alasan Nissan Kurangi 12.500 Pekerjanya

Berbeda dengan sikapnya yang menolak rencana revisi UU Ketenagakerjaan, buruh justru mendesak agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) segera direvisi. 

“Jangan sampai ada kesan, ketika buruh yang meminta revisi tidak kunjung direalisasi. Tetapi giliran pengusaha yang meminta cepat sekali dituruti,” ujarnya. 

Menurut dia, PP 78/2015 lebih mendesak untuk direvisi. Sebab keberadaan beleid ini membatasi kenaikan upah buruh hanya sebatas pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 

Padahal apabila pemerintah ingin fokus mendongkrak investasi, lanjut Iqbal, maka yang juga perlu dijaga adalah pertumbuhan PDB di atas rata-rata regional dengan mendorong konsumsi rumah tangga. Caranya dengan menaikkan daya beli masyarakat (purchasing power). 

Dengan adanya daya beli, maka barang-barang produksi akan ada yang membeli, sehingga roda ekonomi berputar. Salah satu instrumen paling mendasar untuk menaikkan daya beli adalah upah minimum yang berfungsi sebagai jaring pengaman (safety net).

“Supaya upah menjadi layak, maka PP 78/2015 yang membatasi kenaikan upah minimum harus dicabut. Kembalikan kenaikan upah minimum berdasarkan perundingan tripartit dan berbasis pada kebutuhan hidup layak dengan melakukan survey pasar,” kata Iqbal. 

Baca Juga: KSPI Sebut 10.000 Pekerja Terancam PHK

Dia mencontohkan, pertumbuhan PDB di atas 6% yang terjadi di medio tahun 2010-2012 disumbang oleh konsumsi rumah tangga di atas 56%. Sementara saat ini pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5% karena porsi konsumsi rumah tangga juga menurun. 

"Karena itu, agar pertumbuhan ekonomi meningkat maka daya beli masyarakat (purchasing power) harus dinaikkan," pungkas dia.

(Rani Hardjanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya