JAKARTA - Nilai tukar rupiah berpotensi melanjutkan pelemahan pada Selasa setelah China disinyalir sengaja melemahkan mata uang Yuan sebagai tindakan balasan perang dagang melawan Amerika Serikat yang berencana menaikkan tarif impor kepada negeri Tirai Bambu.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa, mengatakan tindakan devaluasi Yuan oleh pemerintah China dipandang investor global sebagai tindakan retalisasi atau pembalasan terhadap AS yang pekan lalu menyatakan akan menaikkan tarif impor pada 1 September 2019.
Baca juga: Trump Pertahankan Sikap Terkait Perdagangan dengan China
Dari kacamata pelaku pasar, tindakan balasan ini adalah alarm peningkatan risiko investasi sehingga pelaku pasar akan mencari aset-aset yang paling aman untuk menanamkan modalnya. Maka dari itu, sentimen pasar yang menguat adalah "risk-averse" atau penghindaran risiko.
Alhasil, nilai tukar mata uang negara-negara berkembang termasuk Indonesia tertekan karena investor beralih untuk mencari aset yang paling minim risiko.
Baca juga: Amerika Kenakan Tarif Tambahan 10% untuk Produk China, Begini Reaksi Sri Mulyani
"Berdasarkan data historis, pelemahan nilai tukar Yuan Tiongkok akan ikut menyeret pelemahan nilai mata uang lainnya, terutama mata uang negara berkembang. Hal ini disebabkan bahwa usaha Tiongkok melemahkan mata uangnya sendiri dipandang sebagai retaliasi perang dagang," ujar Josua mengutip antaranews, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Pada Selasa ini, kurs rupiah di pasar spot melunglai. Kurs mata uang Garuda dibuka melemah 94 poin atau 0,66 persen menjadi Rp14.349 per USD dibanding posisi penutupan pada Senin (5/8) di Rp14 255 per USD.
Baca juga: Trump Kenakan Tarif Tambahan 10% untuk Barang China Senilai USD300 Miliar
Sementara itu, di kurs tengah Bank Indonesia atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah ditetapkan di Rp14.344 per USD, atau melemah 0,7 persen dibanding Senin (5/8) yang sebesar Rp14.231 per USD.
Josua mengingatkan melemahnya kurs rupiah akan semakin memberatkan kinerja perekonomian Indonesia. Pasalnya, pelaku industri di dalam negeri masih bergantung pada impor bahan baku dan barang modal untuk berporduksi.
"Hal ini menjadi masalah mengingat tidak seluruh hasil produksi industri demestik berorientasi ekspor atau dengan perkataan lain diperuntukkan untuk konsumsi domestik," ujar dia.