JAKARTA - PT Dahana (Persero) menyebut saat ini penjualan bahan peledak ke pasar dalam negeri masih sangat rendah sekali. Termasuk juga penjualan bahan peledak untuk angkatan bersenjata dalam negeri seperti Tentara Negara Indonesia (TNI) hingga Kementerian Pertahanan yang dipimpin Prabowo Subianto.
Presiden Direktur Dahana Budi Antono mengatakan, saat ini dari total produksi hanya 13% saja yang dibeli oleh TNI. Menurutnya, angka tersebut masih terlalu rendah.
Baca Juga: Pabrik Bahan Peledak Dahana Berdiri di Timor Leste pada 2020
Oleh karena itu, dirinya berkeinginan agara pembelian bahan peledak oleh angkatan bersenjata dalam negeri bisa ditingkatkan lagi menjadi 35%. Apalagi bahan peledak dalam negeri juga sudah diakui kualitasnya karena sudah mendapatkan sertifikat.
“Kita kan sudah tergabung holding NDHI. Kita hitung-hitung yang dibeli TNI itu kira-kira 13%. Kita maunya 35%. Dengan lebih banyak produk dalam negeri,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Baca Juga: Industri Tambang Lesu, Bagaimana Pengaruh Bisnis Penjualan Bahan Peledak?
Menurut Budi, dirinya tidak tahu pasti mengapa penjualan kepada TNI masih sangat rendah. Padahal justru kualitas dari bahan peledak dalam negeri juga tidak kalah dari negara lain.
Dari sisi harga juga, bahan peledak dalam negeri justru lebih murah dibandingkan dari negara lain. Namun dalam realita di lapangannya, justru untuk meperkuat pertahanan dalam negeri, masih sering membeli produk dari luar negeri.
“Barang siapa bahan peledak yang sudah tersertifikat sudah terakreditasi boleh TNI beli ke industri lokal. Contohnnya Dahana, Pindad, DI PAL, tapi kadang-kadang belinya keluar. Kalau teknologi canggih kita akui kita belum bisa. Kalau Dahana bisa bikin bom itu sudah ada sertifikasinya. Terus ada roket S-80 tahun depan diuji dinamis pakai Sukhoi. Kalau sudah ada sertifikasinya harus beli,” katanya.
Sementara itu lanjut Budi, khusus untuk produk-produk pertahanan lainnya, mungkin sedikit pengecualian. Karena ada beberapa alat pertahanan yang mana perusahaan dalam negeri belum bisa memproduksinya.
“Saya enggak tahu mungkin NDHI belum bisa buat macem-macem jadi mereka belinya dari luar. Kalau Dahana tapi bisa bikin bom bisa bikin roket itu harus dibeli,” katanya.
(Dani Jumadil Akhir)