JAKARTA - Awal mula krisis ekonomi pada 1998 di Indonesia sama sekali tidak diprediksi oleh pemerintah. Hal itu disampaikan oleh Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)Tanri Abeng.
Menurutnya menteri keuangan Indonesia saat itu menjamin kondisi fundamental ekonomi makro dalam posisi baik. Tapi tanda krisis kemudian dengan sangat cepat melanda Indonesia.
"Hal itu ditandai dengan menurunnya nilai mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat dari posisi Rp2.400 per USD hingga mencapai puncak tertinggi sebesar Rp17.000 per USD pada pertengahan 1998. Dan krisis ekonomi dengan diawali depresiasi mata uang Thailand pada 1997," ujar dia pada telekonferensi, Jakarta, Senin (18/5/2020).
Baca Juga: Kabar Buruk, Ekonomi Jepang Masuk Resesi
Dia menjelaskan perubahan ekonomi yang cukup cepat itu, membuat Indonesia harus mempertahankan agar roda perekonomian bisa tetap berjalan. Seperti, dengan meminjam utang kepada Dana Monter Internasional atau International Monetary Fund (IMF).
"Presiden Soeharto pada waktu itu, mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi krisis. Pada 10 Januari 1998 itu IMF menandatangani kesepakatan dengan Pak Harto. Waktu itu ada stanby loan USD43 juta kalau tidak salah persisnya," ungkap dia.
Baca Juga: IMF Sebut Covid-19 Picu Resesi, Apa Kata BI?
Kemudian, lanjut dia, tidak hanya meminjam utang kepada IMF, Indonesia juga berbenah memperkokoh ekonomi dengan membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan yang diisi oleh 5 menteri dan penasehat Presiden.
"Jadi tugas dewan itu salah satunya mencari solusi agar BUMN dapat berperan menekan potensi pembengkakan utang Indonesia," jelas dia.