Kondisi APD yang tidak maksimal membuatnya khawatir untuk berinteraksi dengan anggota keluarganya selepas kerja karena takut menulari mereka.
Sebagai THL, besaran gaji yang diterima Satya tidak sebanding dengan jam kerjanya yang melebihi batas jam kerja PNS, yaitu 7,5 jam per hari atau 150 jam per bulan, merujuk pada PP Nomor 53 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah.
"Kalau saya, di puskesmas, [waktu] piket saya sekitar 17 sampai 20 jam. Kalau dihitung jam kerjanya, ya lebih [dari batas jam kerja PNS], sekitar 180 jam," katanya yang juga mengatakan di luar piket tetap bekerja.
Namun, pemotongan gaji perawat atau THR yang tidak dibayarkan bukan hanya dirasakan oleh perawat dengan status lepas seperti Fadly dan Satya.
Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), ada ratusan perawat, baik di rumah sakit pemerintah atau pun swasta, yang gajinya dipotong atau tidak menerima THR.
"Sampai hari ini (25 Mei 2020) sudah 330 laporan yang masuk," ungkap Sekretaris Badan Bantuan Hukum PPNI, Maryanto.
Dari jumlah tersebut, 65 persen di antaranya berstatus karyawan lepas atau kontrak, sementara 35 persen lainnya pegawai tetap.
Sementara itu di DKI Jakarta, 74 rumah sakit telah memotong gaji atau THR perawat.
Menurut Maryanto, rumah sakit memberikan beragam alasan mengapa memotongan gaji dan THR.
Beberapa rumah sakit swasta misalnya, mengacu pada penurunan jumlah 'Bed Occupancy Ratio' (BOR), atau jumlah tempat tidur yang diisi pasien dalam jumlah tertentu, serta rendahnya angka pengunjung.
Sementara itu, rumah sakit pemerintah mengaku belum turunnya anggaran dari pemerintah pusat dan daerah sebagai alasannya.
(Fakhri Rezy)