9. Perundingan bipartit tidak akan efektif bagi buruh
Mengutip keterangan FSBPI, Rabu (12/5/2021), Peraturan kebijakan ini telah melegitimasi kinerja malas yang ditunjukkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan selama ini. Alih-alih mewajibkan perusahaan untuk menunjukkan laporan keuangan perusahaan kepada pemerintah sebagai alasan objektif untuk menunda pembayaran THR-layaknya skema penangguhan pembayaran upah- SE THR menyerahkan sepenuhnya hal tersebut ke perundingan bipartit.
Timpangnya posisi buruh dan pengusaha, telah menyebabkan perundingan-perundingan bipartit tidak efektif, terlebih bagi pekerja kontrak, harian lepas dan sebagainnya yang selalu dibayangi ancaman PHK jika mencoba menuntut hak.
10. 52% pekerja menyatakan belum terpenuhi hak THR-nya
Survey daring FSBPI mengenai pemenuhan hak THR sejak 29 April 2021 memperlihatkan 52% responden menyatakan hak THR tidak dipenuhi sesuai Permenaker 6/2016 dengan rincian. Yakni Besaran THR dibayarkan sesuai ketentuan, namun dicicil 13,28%. Lalu THR tidak dicicil, namun besarannya dikurangi 15,4%.
THR dibayarkan secara dicicil dan besarannya jika diakumulasikan kurang dari ketentuan, 3,3%. THR hanya berupa bingkisan: 2,4%. Dan tidak mendapat THR 17,1%.
11. Perempuan terdampak paling besar pelanggaran hak THR
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fakta umum mengenai buruk kinerja Pengawas Ketenagakerjaan. Dari responden yang hak THR nya tidak sesuai Permenaker 6/2016, 30% merupakan perempuan dan 22% laki-laki. Dengan demikian, terdapat kecenderungan bahwa perempuan menjadi pihak yang lebih terdampak pelanggaran hak THR.
(Feby Novalius)