Lebih jauh Wapres menjelaskan, landasan fiqih yang digunakan oleh DSNMUI dalam mengembangkan keuangan syariah termasuk pasar modal syariah, yaitu hukum asal dalam muamalah adalah boleh sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.
“Adapun yang dilarang menurut syariah itu adalah kegiatan yang spekulatif dan manipulatif yang mengandung unsur gharar (tidak pasti), riba, maisir (judi), risywah (suap), maksiat, dan kedzoliman,” jelasnya.
Meskipun sudah ada kaidah yang menguatkan kehalalan pasar modal syariah, Wapres mencermati, tidak membuat masyarakat muslim antusias berinvestasi di sektor tersebut.
Merujuk data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sampai dengan Juni 2021, jumlah kepemilikan efek saham syariah berdasarkan Nomor Tunggal Identitas Pemodal atau Single Investor Identification (SID) sebanyak 991 ribu SID atau tumbuh 36,48% dalam waktu 6 bulan.
Kendati demikian, jumlah SID kepemilikan efek saham syariah masih sekitar 18% dari total SID pasar modal yang mencapai 5,5 juta SID. Sedangkan dari sisi kapitalisasi pasar, Indek Saham Syariah Indonesia pada 30 Juni 2021 mencapai 3.352 triliun rupiah atau hampir separuh dari kapitalisasi pasar saham Indonesia sebesar 7.100 triliun rupiah.
“Jika dilihat dari potensi masyarakat muslim Indonesia, tentu jumlah ini sangat kecil sekali, oleh karena itu melalui pemahaman dan literasi terhadap keuangan syariah sedari dini, dari usia pelajar dan mahasiswa tentu akan menjadi modal bagi pertumbuhan dan pengembangan pasar modal syariah di masa mendatang,” ucap Wapres optimis.
Namun, Wapres tetap mengingatkan bahwa investasi di pasar modal mengandung resiko, sehingga harus meningkatkan pemahaman terhadap risiko-risiko yang ada.
“Jangan terjebak dengan produk keuangan yang naik karena adanya aksi 'pompa' oleh sekelompok orang, atau saat ini marak dengan fenomena menggunakan influencer,” pesannya.