Menurutnya, perbankan juga dapat mempertimbangkan untuk membuat sebuah klasifikasi kredit khusus EBT, seperti sektor properti yang memiliki klasifikasi KPR dan KPA untuk konsumen dan Kredit Yasa Griya (KYG) khusus pengembang.
Menurut dia, melalui klasifikasi seperti ini, perbankan dapat melakukan analisa risiko yang lebih terfokus terkait properti-properti yang akan diberikan pembiayaan.
Selama ini, faktor tersebut tidak dimiliki oleh sektor EBT sehingga sering kali analisa risiko untuk sektor EBT disamaratakan dengan sektor non EBT. Yang lebih parah apabila analisa risiko pembangkit EBT disamakan dengan risiko pembangkit fosil seperti PLTD, PLTG atau PLTU.
Dengan kondisi itu, Yusrizki mengajak OJK, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan lembaga pembiayaan, baik BUMN dan non-BUMN, untuk bergerak cepat membangun sebuah pola pandang dan pembiayaan khusus proyek EBT.
"PLN akan membuka pengadaan untuk proyek de-dieselisasi yang akan memberikan volume besar bagi pergerakan EBT di Indonesia. Akan sangat ideal apabila sektor jasa keuangan turut berperan serta secara aktif dengan melihat dan merancang pola pembiayaan mulai dari proyek de-dieselisasi ini," katanya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)