Dia menyebut perekonomian global terus diwarnai dengan meningkatnya inflasi di tengah pertumbuhan yang diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
Berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, yang disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan kebijakan Zero COVID-19 di China, menahan perbaikan gangguan rantai pasokan.
"Gangguan dari sisi suplai tersebut disertai dengan meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan oleh berbagai negara, mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan tekanan inflasi global. Berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS), merespons kenaikan inflasi tersebut dengan menempuh pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif sehingga berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi," paparnya.
Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, China, dan India diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Volume perdagangan dunia juga diperkirakan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
"Perkembangan tersebut berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global yang masih akan tetap tinggi sehingga mendorong terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia," terangnya.
Sebelumnya, Bank Dunia mencatat terdapat kemungkinan ekonomi Indonesia tumbuh melambat menjadi 4,6% di tahun 2022 dan hanya 4,7% pada tahun 2023 dalam skenario penurunan ekonomi global.
Lembaga dunia yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat tersebut memperkirakan pula bahwa dalam skenario terbaik, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,1 persen pada 2022 dan 5,3 persen di 2023.
"Lingkungan ekonomi global dapat menciptakan tekanan ke bawah dalam proyeksi tersebut," ujar Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Habib Rab dalam acara Peluncuran Laporan "Indonesia Economic Prospects June 2022" yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (22/6/2022).
Dia menjelaskan penurunan pertumbuhan ekonomi global secara luas dapat menyebabkan penurunan permintaan ekspor komoditas, memicu pengurangan produksi, dan harga yang lebih tinggi.
Hal tersebut dapat memaksa realokasi fiskal dari pembelanjaan yang mendukung pertumbuhan ekonomi kepada subsidi yang tidak ditargetkan.
"Ini juga bisa berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi dan investasi yang lebih rendah," tuturnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)