JAKARTA - Penyaluran BBM subsidi tidak tepat sasaran. BBM jenis Pertalite digunakan kendaraan roda empat sebanyak 70% dan roda dua sebanyak 30%.
Data data BPS 2020, 98,7% penggunanya merupakan mobil pribadi, taksi online 0,6%, taksi plat kuning 0,3% dan angkot 0,4%. Sementara di antara roda dua, Pertalite digunakan oleh motor pribadi sebanyak 97,8% dan ojek/ojol 2,2%.
Menanggapi data tersebut, Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengatakan bahwa jenis BBM yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang tak mampu tapi sebagian besarnya jelas dinikmati oleh masyarakat kategori kaya.
"10% termiskin menikmati subsidinya 3,1% saja. 20% termiskin 4,4% dan terus begitu. Yang terkaya paling banyak menikmati yakni 29,1%," ujar Faisal, dalam diskusi tentang Kebijakaan Penyesuaian Harga BBM, di Jakarta, Jumat (2/9/2022).
Baca Juga: Pertamax Turbo hingga Dexlite Turun, Pertamina Klaim Harganya Paling Kompetitif
Oleh karena itu, kata Faisal, upaya mengurangi subsidi BBM harus dilakukan dengan konsisten, karena ongkos sosial, fiskal, dan lingkungannya terlalu mahal untuk terus menerus ditumpuk.
Ekonom Universitas Indonesia ini kemudian menceritakan pentingnya menghemat penggunaan migas di Indonesia. Sebab, cadangan minyak kian menipis, sementara konsumsi bahan bakar minyak semakin naik.
Harga BBM yang murah karena subsidi membuat pola konsumsi masyarakat terutama yang mampu semakin tak terkendali.
Hal itu pula yang menjadikan Indonesia harus melakukan impor minyak dari luar negeri, yang harganya saat ini melonjak naik, salah satunya akibat dari perang di Eropa.
Baca Juga: Daftar Subsidi Tepat MyPertamina agar Bisa Beli Pertalite, Begini Caranya
"Cadangan makin tipis, tapi kita membakar energi, membakar BBM, makin lama makin banyak. Akibatnya apa, kita harus menutup selisih ini dengan cara mengimpor. Sekarang kira-kira impornya mendekati 800 ribu barel per hari," ungkap Faisal.
Walhasil, BBM yang dibeli mahal dan dijual murah karena disubsidi kini menimbulkan masalah fiskal di APBN.
"Kita sudah tekor untuk minyak mentah USD 5 miliar. Kemudian untuk BBM, impornya makin lama makin tinggi juga, defisitnya kira-kira USD 12 miliar. Jadi kita habiskan USD 17 miliar hingga bulan Juli ini. Sampai Desember barangkali bisa USD 20 miliar hingga USD 25 miliar," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua PB HMI Bidang Pembangunan Energi, Migas dan Minerba (PEMM) Muhamad Ikram Pelesa berharap agar subsidi BBM dialihkan ke sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya.