JAKARTA - Mengintip potensi harta karun Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi 3.600 sampai 3.700 gigawatt EBT.
Sementara itu, kebutuhan listrik Indonesia hingga 40 tahun ke depan hanya 700 megawatt (mw). Indonesia memiliki target penggunaan EBT 23% pada 2025.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, pengembangan EBT diprediksi bisa mendatangkan devisa bagi negara dengan mengekspor listrik ke sejumlah negara, termasuk negara tetangga Singapura.
"Tetapi kalau ditanya, kita punya potensi yang besar yang beragam dan tersebar," ujar Dadan dalam diskusi virtual bertajuk Mempercepat Penurunan Emisi, Meraih Devisa, Selasa (18/10/2022).
BACA JUGA:Perpres Terbit, Investasi EBT di RI Meningkat
Namun, dia memastikan, wacana ekspor listrik tersebut belum akan direalisasikan dalam waktu dekat. Di sisi lain, pengembangan EBT terus dilakukan di Indonesia, mengingat sejumlah pelaku industri dan juga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) mengisyaratkan penggunaan listrik hijau untuk proses produksinya.
"Angkanya memang tidak bisa dikurangkan langsung karena yang kita butuhkan bukan megawatt, tetapi satuan listriknya dalam satuan kWh," sambungnya.
Dadan menjelaskan, untuk ekspor listrik bisa saja dibangun hub sebagai penyalur ekspor yang energi listriknya bisa diambil dari mana saja karena Indonesia memiliki banyak sumber panas bumi.
"Ini kan bukan pikiran untuk dilakukan tahun depan. Singapura saya rasa juga tidak berpikir tahun depan ini seperti apa. Tetapi ini proses-proses jangka panjang untuk memastikan bahwa Singapura mendapatkan listrik bersih dan handal, dan kita juga punya keinginan yang sama seperti itu di dalam negeri," katanya.
Pemerintah sendiri tetap akan mendahulukan kebutuhan pasokan EBT di dalam negeri meski kebijakan ekspor EBT sendiri tidak dilarang oleh regulasi tetapi ada syaratnya yaitu kebutuhan tenaga listrik di dalam negeri sudah terpenuhi dengan baik.
Selain itu, tidak boleh ada subsidi listrik yang akan diekspor ke luar negeri. Tidak kalah penting juga, ekspor yang dilakukan tidak mengganggu mutu dan keandalan penyediaan kebutuhan listrik hijau di dalam negeri.
"Secara regulasi bahwa ekspor itu memang diperbolehkan, jadi ekspor itu boleh secara regulasi turunan dari Undang-Undang Ketenagalistrikan," katanya.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, besarnya potensi EBT memungkinkan Indonesia untuk melakukan ekspor listrik. "Karena tidak ada constraint sumber dayanya, kalau energi fosil itu kan ada constraint sumber daya alamnya, karena terbatas," katanya.
Menurutnya, pengembangan EBT di Indonesia bisa ikut memenuhi target net zero emission pada 2050-2060. "Kita butuh kira-kira 1.600 gigawatt dan itu hanya butuh kira-kira 4% dari total lahan di Indonesia," tukasnya.
(Dani Jumadil Akhir)