JAKARTA - Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi momok bagi pekerja di seluruh dunia. Usai pandemi Covid-19, kini badai PHK kembali menghantui pekerja di seluruh dunia.
Badai PHK kini tengah menyerang beberapa perusahaan dunia, seperti Meta Platforms Inc, induk Facebook, Microsoft hingga Twitter. PHK yang dilakukan pun tidak sedikit, bahkan sampai ribuan pekerja yang kena PHK.
Seperti Microsoft melakukan PHK pada tahun ini kurang dari 1% dari total karyawan perusahaan software yang mencapai 181 ribu per Juni 2021. Dengan demikian hampir 1.000 karyawan kena PHK.
Terbaru, Meta yang merupakan induk Facebook akan melakukan PHK massal yang diumumkan pekan ini. Rencana PHK ini berdampak pada ribuan karyawan Meta.
BACA JUGA:Ancaman Resesi 2023, Gelombang PHK Bisa Ditekan?
Untuk di Indonesia, badai PHK kembali menerjang setelah pandemi Covid-19 pada tahun 2019 hingga periode 2020. Usai perusahaan rintisan (startup) mengalami badai PHK, kini isu PHK menghantui pekerja sektor industri tekstil.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) Adrian Gunadi berpendapat bahwa fundamental bisnis memiliki pengaruh besar terhadap keberlanjutan (sustainibility) perusahaan teknologi finansial (tekfin/fintech).
Hal ini menyusul gelombang PHK massal yang masih belakangan ini marak di kalangan startup. Tekfin pun tak luput dari ancaman tersebut.
"Saya rasa keputusan untuk melakukan PHK pun ada di keputusan manajemen yang sudah melakukan analisa secara mendalam," kata Adrian.
Tahun 2022 belum berganti, namun isu PHK kembali menghantui pekerja. Terlebih lagi, prediksi tahun 2023 akan lebih gelap lagi dibandingkan 2022. Tentu ini menjadi momok bagi pekerja jika terkena PHK.
Benar saja. menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah terjadi PHK kepada 10.765 pekerja per September 2022.
BACA JUGA:5 Fakta Gelombang PHK Massal di Industri Garmen dan Tekstil, Begini Langkah Kemnaker
Namun angka ini PHK masih lebih rendah dibandingkan kasus PHK pada 2 tahun sebelumnya ketika awal-awal pandemi Covid-19. PHK pada awal pandemi Covid-19 periode tahun 2020 melonjak menjadi 386.877 kasus. Padahal sebelumnya hanya 18.911 kasus pada 2019.
Angka PHK usai melonjak di 2022 kembali turun menjadi 127.085 kasus PHK pada 2021. Lalu, angkanya kembali turun menjadi 10.765 kasus per September 2022.
“Kalau kita lihat kasus pemutusan hubungan kerja 2019 sampai dengan September 2022, PHK cukup tinggi terjadi pada tahun 2020 ketika kita mengalami pandemi Covid-19," kata Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR RI, Selasa 8 November 2022.
Pada 2023, perusahaan dan pengusaha diwanti-wanti agar tidak melakukan PHK meski ada ancaman dampak resesi ekonomi global.
Kemenaker meminta semua pihak mengedepankan dialog bipartit untuk menghindari terjadinya PHK dan memastikan bahwa pihaknya siap mendampingi semua pihak dalam mencari solusi terbaik.
Kemenaker juga telah melakukan koordinasi lintas kementerian/lembaga, dinas ketenagakerjaan serta mitra terkait untuk memantau perkembangan isu PHK di Tanah Air.
Dari koordinasi tersebut didapati telah terjadi PHK di beberapa sektor, meski semua pihak telah berupaya untuk menghindari hal tersebut dan mengupayakan PHK menjadi jalan terakhir dari permasalahan hubungan industrial.
Informasi yang didapat terkait PHK, terjadi khususnya di sektor industri padat karya yang berorientasi ekspor seperti garmen, tekstil dan alas kaki.
Beberapa penyebab terjadi PHK saat ini seperti dampak pandemi Covid-19 yang masih dirasakan, transformasi bisnis di era digitalisasi hingga geopolitik global berdampak pada menurunnya daya beli sejumlah negara tujuan ekspor Indonesia.
Untuk mencegah kenaikan jumlah PHK dan perselisihan hubungan industrial, Putri mengatakan akan terus melakukan berbagai upaya mendorong dialog bipartit antara pelaku bisnis dan serikat pekerja/buruh.
Kemnaker juga mendorong mediator hubungan industrial di Kemnaker dan seluruh daerah untuk terus melakukan pendampingan untuk mendiskusikan opsi pencegahan PHK.
Dinas Ketenagakerjaan di seluruh daerah diminta untuk terus memantau kondisi ketenagakerjaan di wilayah masing-masing dan melaporkan kepada Kemenaker.
"Mari kita sikapi isu PHK ini secara berimbang dengan terus mengedepankan dialog dengan para pemangku kepentingan, sehingga PHK menjadi jalan paling akhir jika terjadi kemelut bisnis," kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemenaker, Indah Anggoro Putri.
Sementara itu, potensi PHK sebetulnya bisa dicegah dengan cara perusahaan melakukan efisiensi terhadap cost produksi. Misalnya mengurangi fasilitas para pekerja, terutama fasilitas pekerja untuk jabatan tingkat manajer dan direktur.
Selain itu perusahaan juga bisa mengurangi shift kerja karena memang terjadi penurunan permintaan. Karena dengan menurunkan aktivitas pekerjaan akan berdampak pada biaya operasional, seperti membayar listrik, air dan lainya.
Tak hanya itu, perusahaan bisa membatasi atau menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja, lalu mengurangi hari kerja, kemudian meliburkan para pekerja untuk sementara waktu, sehingga keputusan PHK benar-benar menjadi langkah terakhir yang diambil perusahaan setelah melakukan beberapa hal di atas. Dengan demikian pengangguran akibat PHK bisa ditekan.
"Jadi PHK bisa dicegah asal kedua belah pihak antara manajemen dan serikat pekerja bisa mencapai kesepakatan," katanya.
Sementara itu, Pemerintah sedang mengkaji pemberian kebijakan untuk industri padat karya yang saat ini sedang lesu, termasuk potensi pemberian restrukturisasi kredit.
Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang meninjau beberapa sektor, termasuk sektor industri padat karya, agar industri tersebut masih memiliki daya tahan. Sektor industri padat karya yang terpengaruh oleh penurunan permintaan terjadi secara global, baik di Amerika maupun Eropa.
Jumlah pemesanan yang mulai terbatas pun diiringi dengan penumpukan pasokan, sehingga pemerintah melihat sektor padat karya perlu diberi kebijakan khusus seperti saat COVID-19 melanda.
Selain itu pemerintah juga berusaha menahan beberapa perusahaan padat karya untuk tidak melakukan PHK. Kendati demikian masih ada beberapa perusahaan di level atau segmen pasar tertentu yang mendapatkan tambahan permintaan.
Pemerintah ke depannya akan membuat kebijakan dengan melihat kondisi per sektor secara detail, sehingga kebijakan untuk sektor-sektor yang sudah mampu pulih tidak lagi dilanjutkan insentifnya.
Salah dua contoh insentif yang tidak akan dilanjutkan pada tahun depan adalah pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) di sektor otomotif serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) properti.
"Kami akan lihat situasinya, jika sudah pulih kami akan menghentikan program tersebut agar kami bisa alihkan bantuan ke sektor-sektor yang lain," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jakarta, Senin 7 November 2022.
Kondisi tersebut, turut berlaku untuk restrukturisasi kredit, dimana Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sudah sepakat untuk tidak melanjutkannya ke seluruh sektor lantaran karakteristik sektor perekonomian saat ini berbeda-beda, sehingga hanya sektor tertentu yang masih mendapatkan tekanan yang akan diperhatikan melalui kebijakan itu.
(Dani Jumadil Akhir)