JAKARTA - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengkritisi Harga Patokan Ekspor (HPE) Crude Palm Oil/CPO Indonesia yang masih mengacu pada harga Rotterdam Belanda, Bursa MDEX Malaysia, dan Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX).
Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko menyebut bahwa Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Pada 2021, nilai ekspor CPO Indonesia memberikan kontribusi sebesar 51,94% dari total permintaan dunia. Kemudian dari sisi value dan volume sudah bagus, justru yang terbaik.
"Yang perlu kita garisbawahi adalah harga patokan ekspor (HPE) kita itu masih mengacu pada harga Rotterdam Belanda, Bursa MDEX Malaysia, dan Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX). Di mana untuk menentukan harga patokan ekspor kita itu 20% bobotnya mengambil dari Rotterdam, 20% mengambil dari MDEX Malaysia, dan 60% dari ICDX," ujar Didid dalam Majalah Sawit Indonesia, Kamis (3/3/2023).
BACA JUGA:Izin Ekspor CPO Bakal Lewat Bursa Berjangka
"Sayangnya di ICDX masih sangat rendah volume penjualannya sehingga walaupun kita sudah ada penjualan fisik di bursa tetapi ini masih belum bisa menjadi harga acuan," sambungnya.
Oleh karena itu, Didid mengatakan, saat ini pemerintah tengah menyusun strategi dengan mendorong penjualan atau transaksi CPO melalui bursa berjangka. Ini supaya transaksinya transparan dan bisa menentukan HPE lebih tepat.
Lebih jelas dia menerangkan, bahwasanya berdasarkan catatan Bappebti, ketidakcocokan data transaksi CPO antar negara kerap terjadi bahkan sejak 2019.
Contohnya, ketika Indonesia mengekspor CPO kelima negara (China, India, Pakistan, USA, Malaysia) selalu datanya berbeda antara laporan ekspor yang dirilis baik itu dari Dirjen Bea Cukai maupun Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dengan laporan impor dari negara tujuan.
"Misalnya, laporannya itu ekspor ke negara X tetapi negara tersebut melaporkan bahwa tidak menerima sejumlah besaran volume ekspor yang dilaporkan dari Indonesia. Intinya di sini adalah ada perbedaan data," tukas Didid.
Oleh sebab itu, dia menilai hal Ini mengindikasikan bahwa terjadi kebocoran volume ekspor yang tidak diketahui pemerintah.
Selanjutnya, Didid juga menyoroti soal penentuan harga referensi ekspor CPO Indonesia. Dia bilang nilai harga referensi ekspor CPO pada tahun 2022 relatif lebih rendah daripada harga di MDEX dan/atau Rotterdam.
Artinya, ketika patokan ekspor lebih rendah otomatis pungutan ekspor Indonesia menjadi bisa lebih rendah dari yang seharusnya.
"Otomatis segala macam pajak mulai dari pajak ekspor sampai dengan PPH badannya itu akan lebih rendah. Sehingga ada potensi bahwa negara ini katakan lah tidak menerima dari yang seharusnya. Seharusnya berapa? Nah, ini kita perlu transparansi, salah satunya melalui bursa berjangka itu tadi," pungkas Didid.
(Zuhirna Wulan Dilla)