KPK menemukan titik rawan korupsi dari sisi lemahnya akuntabilitas lelang, benturan kepentingan dan BUJT tidak melaksanakan kewajiban, potensi kerugian negara Rp4,5 triliun.
"Rp4,5 triliun itu pemerintah sudah beliin tanah pembasan lahan, janjinya kalau jalan tol jadi dibalikin itu uang, ternyata jalan tol selesai dibangun, Rp4,5 triliun belum dibalikan dan belum jelas rencana pegnembaliannya gimana, dipanggil dong semua (BUJT), kan Rp4,5 triliun gede duitnya," kata Pahala.
Adapun temuan KPK terkait potensi kerentanan korupsi itu pada proyek jalan tol masalah tata kelolanya.
Misal dari proses perencanaan, Peraturan pengelolaan jalan tol yang digunakan masih menggunakan aturan lama, akibatnya rencana pembangunan tidak mempertimbangkan perspektif baru seperti kompetensi alokasi dana pengadaan tanah.
Proses lelang, KPK menilai dokumen lelang tidak memuat informasi yang cukup atas kondisi teknis dari ruas tol.
Sehingga akibatnya pemenang lelang harus melakukan penyesuaian yang mengakibatkan tertundanya pembangunan.
KPK juga menilai belum adanya mitigasi permasalahan yang berulang terkait pemenuhan kewajiban Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), akibatnya pelaksanaan kewajiban BUJT tidak terpantau secara maksimal.
Potensi benturan kepentingan, menurut KPK investor pembangunan di dominasi oleh 61,9% kontraktor pembangunan yakni BUMN Karya.
Hal itu karena terjadi benturan kepentingan dalam proses pengadaan jasa konstruksi.
Selanjutnya tidak aturan lanjutan tentang penyerahan pengelola jalan tol, akibatnya mekanisme pasca pelimpahan hak konsesi dari BUJT ke pemerintah menjadi rancu.
Lemahnya pengawasan mengakibatkan sejumlah BUTJ tidak membayarkan kewajibannya hingga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara hingga Rp4,5 Triliun.
Adapun kini MNC Portal mencoba untuk melakukan konfirmasi kepada Kementerian PUPR terkait hak tersebut, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari yang bersangkutan.
(Zuhirna Wulan Dilla)