JAKARTA – Kisah merek tupperware yang dulu Berjaya kini terancam bangkrut. Kini, perusahaan itu berada di ambang kebangkrutan.
Melansir BBC, Senin (17/4/2023), perusahaan berbasis Amerika Serikat yang sudah berusia 77 tahun itu mulai melihat timbulnya retakan dalam model bisnis revolusionernya. Utang yang kian menumpuk serta penjualannya yang merosot membuat manufaktur wadah kedap udara itu terancam bangkrut jika tidak ada investor yang mendanai.
Meski perusahaan itu sudah berupaya untuk memasarkan produknya dengan gaya baru kepada generasi-generasi muda, penjualannya tetap tidak bisa didongkrak.
Perusahaan wadah plastik itu terkenal dengan strategi pemasaran mereka yang ikonik pada era 1950-an sampai 1960-an, yakni mengajak ibu-ibu rumah tangga mengadakan “pesta Tupperware“ untuk memamerkan -sekaligus menjual- produk-produk plastik itu kepada tetangga dan teman-teman mereka.
Namun, model bisnis inti dari Tupperware yang memperkerjakan wiraswasta lepas guna menjual produk dari rumah mereka sendiri, telah lama ketinggalan zaman. Bahkan, taktik itu sudah ditinggalkan total di Inggris sejak 2003.
Walau perusahaan itu selalu didominasi oleh perempuan dalam pemasarannya di lapangan, cara itu tidak selalu dicerminkan di jajaran pimpinannya. Oleh karena itu, menurut Clarke, Tupperware kesulitan untuk mempopulerkan kisah suksesnya ataupun beradaptasi dengan masa sekarang.
”Produk itu dirancang dengan cemerlang dan dibuat seakan-akan ajaib lewat cara penjualannya,” tambahnya. ”Namun, dalam dunia digital ini, model bisnis tatap muka itu tidak lagi relevan”.
Neil Saunders, direktur pelaksana ritel di lembaga konsultan GlobalData, memiliki analisa yang sama.
Ia mengatakan Tupperware ”gagal beradaptasi dengan perubahan zaman” dari segi produk maupun distribusinya. Saunders menekankan metode penjualan langsung lewat acara-acara berkumpul ”tidak terhubung” dengan pelanggan muda maupun pelanggan tua.
Tak hanya itu, para konsumennya yang lebih muda cenderung memilih produk-produk yang lebih ramah lingkungan seperti menggunakan kertas beeswax atau lilin lebah yang ramah lingkungan untuk menjaga makanan tetap segar, tambahnya.
Richard Hyman, seorang analis ritel lain, mengatakan prinsip utama dari produk Tupperware “tidak sulit untuk diikuti“ oleh perusahaan lain. Dengan munculnya banyak kompetitor kuat, ia sebut perusahaan itu telah ”mengakhiri perjalanan dengan baik”.
Perusahaan itu telah berusaha untuk membuat strateginya lebih beragam, termasuk dengan menjual produknya di perusahaan ritel AS, Target, dan perusahaan serupa lainnya di seluruh dunia. Mereka juga mengembangkan produknya dengan memproduksi jenis alat masak lainnya.
Jika Tupperware membuat perubahan-perubahan lebih besar 10 tahun yang lalu, tambah Saunders, perusahaan itu bisa saja berada di posisi berbeda sekarang.
Namun kini, para petinggi Tupperware tak ada waktu lagi untuk memikirkan apa yang mungkin terjadi. Sebab, perusahaan terancam bangkrut jika tidak ada suntikan dana cepat.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)