"Karena suatu perekonomian yang terus berkembang maka akan dicirikan dengan transaksi yang makin berkembang atau kalau istilah bahasa Indonesianya makin canggih, makin sophisticated. Ekonomi yang paling sederhana, transaksinya sangat basic. Saya punya kebun, menanam cabai, tetangga saya punya ayam, ayamnya bertelur, saya jual cabai, dia jualan telur," ungkap Sri.
Di momen itu, dia mengatakan bahwa kebutuhan langsung dasar dan pertukaran transaksi itu terjadi, masing-masing punya kesepakatan harga cabai berapa, telur berapa, transaksi set off pakai uang.
"Enggak perlu akuntan, betul kan? Enggak perlu appraisal, enggak ada aktuaris, karena enggak ada risiko jangka depan kecuali telur ini dalam 36 tahun kemudian akan menjadi ayam, ayamnya bercucu, kemudian bercicit, itu muncul kebutuhan aktuaris. Itulah transaksi yang basic, ekonomi yang dicirikan transaksi yang basic pasti ekonominya self-sufficient. Biasanya, ekonominya pendapatannya masih rendah," tambahnya.
Sebagai profesional, Sri menyebut bahwa tiap profesi keuangan akan menyadari di level kompetensi mana mereka berada.
"Pasti namanya profesional tahu ya saya itu ada di level berapa dalam tangga profesi, apakah saya di level 1, 2, 3, 4, medium, medium upper, atau kita sudah di level suhu, guru, canggih, apapun yang Anda sebutkan, expert," ungkap Sri.
Dan menurut Sri, ciri profesionalitas adalah kemampuan untuk mengidentifikasi tingkat kompetensi teknis sebagai profesi keuangan dibandingkan dengan kebutuhan ekonomi dan dibandingkan dengan best practicesnya di dunia, karena ini masalah keduniaan.
"Saya enggak tahu kalau ada aktuaris yang bisa menghitung beyond dunia. Jadi kita bisa lihat di dunia ini praktek terbaik dan kompetensi teknis dari profesi keuangan itu seperti apa, dan kita menempatkan diri kita ada di mana. Apakah kita itu personal, individual profession, atau asosiasi profesinya," pungkasnya.
(Taufik Fajar)