JAKARTA - Presiden Jokowi terus menerus menekankan soal hilirisasi hingga manfaat jangka panjang bagi kesejateraan masyarakat. Namun dalam memutuskan kebijakan ini tentu tidak mudah dan membutuhkan keberanian karena banyak ditentang.
Oleh karena itu, kata Jokowi, kepemimpinan ke depan sangat menentukan masa depan Indonesia.
"Ini bukan tentang siapa yang jadi Presidennya. Bukan bukan itu. Tapi apakah sanggup atau tidak? Untuk bekerja sesuai dengan apa yang sudah dimulai saat ini," kata Jokowi dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
"Apakah berani atau tidak? Mampu konsisten atau tidak? Karena yang dibutuhkan itu adalah nafas yang panjang karena kita tidak sedang jalan-jalan sore. Kita juga tidak sedang lari sprint tapi yang kita lakukan harusnya adalah lari marathon untuk mencapai Indonesia Emas," ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan, hilirisasi tentu pahit bagi pengekspor bahan mentah. Begitu juga pahit bagi pendapatan negara dalam jangka pendek.
Tapi, lanjut Jokowi, jika ekosistem hilirisasi sudah terbentuk. Pabrik-pabrik pengolahannya sudah beroperasi, manfaat hilirisasi baru bisa dirasakan.
"Saya pastikan ini akan berbuah manis pada akhirnya. Terutama bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia," ujarnya.
Jokowi mencontohkan, saat Indonesia stop ekspor nikel ore pada 2020, investasi hilirisasi nikel tumbuh pesat hingga kini telah ada 43 pabrik pengolahan nikel yang akan membuka peluang kerja yang sangat besar.
"Ini baru 1 komoditas. Dan jika kita konsisten dan mampu melakukan hilirisasi untuk nikel tembaga bauksit CPO & Rumput laut.
Berdasar hitung-hitungan perkiraan dalam 10 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp153 juta (USD10.900). Dalam 15 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp217 juta (USD15.800). Dan dalam 22 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp331 juta (USD25.000)," ujarnya.
Meski memberi manfaat yang besar, tentu Jokowi sekali lagi menyampaikan bahwa kebijakan ini tidak populer. Dibutuhkan keberaniaan untuk memutuskan Indonesia mengolah sendiri Sumber Daya Alamnya.
"Pilihan kebijakan akan semakin sulit sehingga dibutuhkan keberanian, dibutuhkan kepercayaan. Untuk mengambil keputusan yang sulit dan keputusan yang tidak populer. Oleh sebab itu menurut saya, pemimpin itu harus punya public trust karena kepercayaan adalah salah satu faktor penentu. Bisa berjalan atau tidaknya suatu kebijakan, bisa diikuti atau tidaknya sebuah keputusan. Ini adalah modal politik dalam memimpin sebuah bangsa," ujarnya.
(Feby Novalius)