JAKARTA – Ekonomi Indonesia dinilai sangat bergantung pada perekonomian global. Assosiciate Researcher INDEF Asmiati Malik mengatakan, hal itu ditandai dengan beragamnya investasi yang masuk di samping impor barang industri dari luar negeri dan juga ekspor Indonesia ke pasar international.
DIa menilai, dewasa ini telah terjadi pergeseran pemain ekonomi global dari yang semula berorientasi ke ekonomi Barat menjadi Asia Centered Economy. Hal itu ditandai dengan kemampuan China bersama Korea Selatan yang unggul dalam merebut pasar ekspor mobil. Sehingga mampu menggeser peran Jepang dan Jerman yang menurun, serta macetnya industri mobil Amerika Serikat.
"Dari perspektif politik global ada peristiwa politik utama di Asia terutama Pemilu di Taiwan, India dan Indonesia. Pemilu Taiwan berpengaruh terhadap aliansi strategisnya dengan USA, dan hubungannya dengan China. India dengan penduduknya yang besar, dan jika partai berkuasa BJP menang, akan mempengaruhi konstalasi politik bagi kawasan," jelas Asmiati dalam Diskusi Publik "Evaluasi dan Perspektif Ekonom Perempuan terhadap Perekonomian Nasional", Kamis (28/12/2023).
Selain itu ada juga risiko skenario geopolitik dari sisi militer, terutama konflik di Myanmar serta melimpahnya pengungsi rohingya yang juga berpengaruh terhadap Indonesia.
"Ancaman agresi China ke Taiwan, Konflik Gaza, dan berlanjutnya perang Rusia – Ukraine. Jika Ukraine menang, maka akan terjadi penguatan aliansi NATO yang otomatis akan meningkatkan ketegangan dengan Rusia bersama China," terangnya.
"Namun jika Rusia menang, akan meningkatkan kontrol Rusia terhadap Laut Hitam dan Laut Arctic, yang berpengaruh terhadap kebijakan politik ke belahan dunia Timur," lanjut Asmiati.
Sementara itu dari perspektif ekonomi, Asmiati menilai kenaikan suku bunga global akan meningkatkan resesi dunia, meningkatkan eskalasi perang dagang, sektor pertanian Asia yang terancam panen padinya oleh El Nino yang berkepanjangan serta lainnya.
Begitu pula risiko kerusakan lingkungan di mana suhu pemanasan global dalam 20 tahun ke depan diperkirakan meningkat di atas 1,5 derajat C menuju 2.0 derajat Celcius. "Jika terjadi, risiko amat besar akan menimpa produksi pertanian dan pangan, dan dampaknya pada pertumbuhan GDP global." pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)