“Maka diperlukan koordinasi dengan pihak logistik maupun Bea Cukai di negara asal. HS code-nya kan ada, tinggal di samakan harganya saja. Jadi tidak perlu banyak koreksi atau ketakutan berlebihan Bea Cukai soal under invoicing,” paparnya.
Kedua, tindakan disiplin kepada petugas lambat. Bhima memandang seyogyanya pemerintah mengusut perkara yang terjadi di Bea Cukai dan mengambil tindakan tegas bila ditemukan masalah. Misalnya adanya sikap suap menyuap.
Otoritas, lanjut dia, bisa bertindak tegas seperti memecat delapan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buntut kasus TPPU senilai Rp349 triliun.
“Misalnya kasus Rp349 triliun di internal Kemenkeu yang sempat heboh belum seluruhnya ditindaklanjuti. Begitu ada petugas menerima suap sekecil apapun ya langsung diperiksa dan dipecat,” beber dia.
Ketiga, whistleblower Bea Cukai tidak berjalan efektif. Artinya, orang dalam yang diberi tugas mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan di Bea Cukai tidak berfungsi.
“Petugas Bea cukai tidak semuanya kan buruk ya, yang masih lurus harus diberikan kesempatan melapor rekan sejawat atau atasan yang menyimpang,” tukas Bhima.
Dia menekan, bila tiga perkara tersebut tidak diselesaikan, maka instansi negara itu tetap saja penuh dengan masalah. Sekalipun, Bea Cukai bakal berdiri sendiri atau melepas diri dari Kemenkeu.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)