JAKARTA - Pemerintah berencana membatasi konsumsi pembelian BBM jenis Pertalite. Jika sesuai rencana, pembelian Pertalite dibatasi mulai 1 Oktober untuk beberapa spesifikasi kendaraan tertentu.
Hal ini menimbulkan berbagai respons dari masyarakat, baik dari para pelaku usaha maupun pengguna kendaraan harian.
Berdasarkan penelusuran, Senin (2/9/2024) pada SPBU di bilangan Jakarta Timur, salah satu pengguna kendaraan Devin menilai kebijakan pembatasan merupakan hal yang wajar. Sebab menurutnya saat ini subsidi pemerintah ke sektor energi terutama BBM kendaraan cukup besar.
Akan tetapi, Devin tidak setuju apabila Pertalite harus benar-benar dihapus peredarannya. Sebab akan berpengaruh terhadap para pelaku usaha kecil yang banyak menggunakan kendaraan untuk aktivitasnya.
"Sebetulnya bukan cuma dibatasin saja ya, tapi saya juga mendengar kalau mau dihapus juga yah, kalau dibatasi masih wajar sih, karena kita subsidinya besar di BBM, kalau untuk dihilangkan tidak setuju," ujar Devin.
Salah seorang pelaku usaha, Qori, mengaku dalam menjalankan usaha hariannya cukup mengandalkan kendaraan mobil yang saat ini mengkonsumsi Pertalite. Sehingga pembatasan konsumsi Pertalite sangat dikhawatirkan berdampak pada pendapatannya.
"Sudah tau, per 1 Oktober kalau tidak salah (pembatasan Pertalite), kebetulan saya pakai Pertalite. Saya tidak setuju karena sehari hari kita menggunakan Pertalite, sedangkan untuk bisnis ini kan saya mobile juga, nah itu pakai Pertalite," sambungnya.
Sebagai pelaku usaha, Qori khawatir kebijakan ini akan berdampak pada keberlangsungan usahanya ketika harus mengeluarkan belanja modal yang lebih dengan harga BBM yang lebih tinggi, sedang tidak ada income tambahan terhadap usahanya.
"Jadi takutnya nanti terlalu banyak pengeluaran, tapi incomenya sedikit," kata Qori.
Masyarakat lainnya, Joni yang juga pengguna harian Pertalite juga menyampaikan keluhan keberatannya jika pembelian Pertalite harus dibatasi atau bahkan dihilangkan. Karena akan berdampak langsung terhadap masyarakat terutama yang berpenghasilan tanggung, atau tidak masuk kategori masyarakat kelas atas, namun tidak masuk spesifikasi masyarakat kelas bawah.
"Kalau buat saya kayaknya kurang setuju, karena hampir rata-rata orang berpenghasilan seperti saya, cuma untuk beli bahan bakar. Kalau itu mau diterapkan atau dihilangkan ya agak berat," pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)