Penentuan Jenis Pekerjaan Outsourching
Terkait Pekerja Alih Daya, para Pemohon yang mempersoalkan belum adanya landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui alih daya (outsourcing).
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menegaskan, perlu ada kejelasan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam perjanjian alih daya, sehingga, pihak-pihak yang terkait dengan perjanjian alih daya, seperti perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa alih daya, dan para pekerja, akan memiliki standar yang jelas tentang jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
Pekerja/buruh alih daya hanya akan bekerja pada pekerjaan alih daya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya. Dengan adanya kejelasan ini akan memberikan perlindungan hukum yang adil kepada pekerja/buruh mengenai status kerja dan hak-hak dasarnya, seperti upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak karena sudah ditetapkan jenis pekerjaan alih dayanya dalam perjanjian kerja.
Selain itu, dengan adanya ketentuan mengenai jenis pekerjaan alih daya yang harus ditetapkan oleh menteri dalam undang-undang ke depan, maka akan membuat lebih jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik alih daya. Hal demikian dapat mencegah adanya kesalahan dalam mengalihkan pekerjaan dapat menyebabkan persoalan hukum. Karena ada batasan yang tegas pada pekerjaan yang dapat dialihdayakan dan juga pengaturan tersebut dapat membantu mengurangi kemungkinan konflik antara perusahaan dan pekerja/buruh.
“Sehingga, dalil para Pemohon berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 sepanjang tidak dimaknai ‘Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya’ adalah dalil yang dapat dibenarkan. Namun, oleh karena Mahkamah tidak mengabulkan sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” urai Daniel.
Waktu Kerja Lima Hari
Para Pemohon juga mempersoalkan tidak diakomodasinya hak pekerja/buruh yang bekerja pada pengusaha atau di perusahaan yang memberlakukan 5 (lima) hari kerja dalam sepekan dengan istirahat selama 2 (dua) hari.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu mengutip Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 yang menyatakan, "Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu".
Setelah dilakukan perubahan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 dinyatakan, "istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu". Namun, dalam Pasal 22 PP 35/2021 sebagai amanat Pasal 79 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 mengatur lebih lanjut waktu istirahat tersebut dengan menyatakan, "Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh pada waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) , "Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu". Setelah dilakukan perubahan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 dinyatakan, "istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu".
Namun, dalam Pasal 22 PP 35/2021 sebagai amanat Pasal 79 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 mengatur lebih lanjut waktu istirahat tersebut. Adanya ketentuan alternatif yang bisa jadi selama ini sudah dijalankan oleh suatu perusahaan menjadi tidak ada pilihan karena sesungguhnya jumlah jam kerja setiap minggu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diterapkan dengan pola waktu istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Hal tersebut tergantung pada kebutuhan perusahaan dalam meningkatkan produktivitas perusahaan dengan tetap memperhatikan hak-hak pekerja buruh.
Dengan memberikan waktu istirahat dengan pilihan sesuai dengan kondisi perusahaan apakah perusahaan akan memilih waktu istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Adanya ketentuan alternatif yang bisa jadi selama ini sudah dijalankan oleh suatu perusahaan menjadi tidak ada pilihan karena sesungguhnya jumlah jam kerja setiap minggu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diterapkan dengan pola waktu istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Hal tersebut tergantung pada kebutuhan perusahaan dalam meningkatkan produktivitas perusahaan dengan tetap memperhatikan hak-hak pekerja/buruh. Dalam konteks ini, apabila terdapat perusahaan yang memberikan waktu istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu menjadi tidak memiliki kejelasan pengaturannya lagi dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 karena sudah dihilangkan namun diatur dalam Pasal 22 PP 35/2021.
Oleh karena itu, untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, penting bagi Mahkamah menegaskan waktu istirahat sebagaimana yang didalilkan para Pemohon dengan menyatakan ketentuan norma Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa "atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu".
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena permohonan dikabulkan tidak sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon sehingga dalil para Pemohon beralasan menurut hukum sebagian.