Dalil Mengenai Upah
Soal upah, para Pemohon mempersoalkan dihapusnya Penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dengan diberlakukannya Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023. Semula dalam norma batang tubuh ditentukan adanya frasa “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak”, yang kemudian norma tersebut dijelaskan, “adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”. Hilangnya penjelasan inilah yang dipersoalkan oleh para Pemohon karena dianggap tidak memberikan kejelasan mengenai perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh.
Setelah Mahkamah mencermati secara saksama Penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003, tidak terdapat substansi yang mengandung norma karena pada pokoknya hanya menjelaskan mengenai “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak”.
Namun, dengan berlakunya Pasal 88 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang mengubah Pasal 88 UU13/2003, khususnya pada ayat (1), kata “penghasilan” dihilangkan sehingga menghilangkan secara utuh penjelasan atas norma dalam Pasal 81 ayat (1) UU 13/2003.
Padahal penjelasan tersebut sangat penting artinya dalam memperjelas maksud memenuhi hidup yang layak. Hilangnya kata “penghasilan” tidak berarti harus hilang pula penjelasan mengenai “memenuhi hidup yang layak”. Sebab, dihilangkannya kata “penghasilan” dalam Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 karena kata tersebut dianggap telah terabsorpsi dalam judul pasal mengenai “pengupahan” sehingga norma baru diubah menjadi “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
“Berkenaan dengan norma baru tersebut, menurut Mahkamah tetap diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan. Sebab, frasa ‘penghidupan yang layak’ sangat banyak digunakan dalam norma UU 13/2003 yang telah diubah dengan UU 6/2023,” ujar Ketua MK Suhartoyo.
Mahkamah juga mempertimbangkan mengenai dalil Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 yang menghapus ketentuan Upah Minimum Sektoral (UMS) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dalam praktiknya dapat mengurangi perlindungan terhadap pekerja, sehingga negara tidak lagi memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak pekerja.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pandangan Mahkamah bahwa upah minimum sektoral merupakan salah satu instrumen penting dalam rangka menjamin kesejahteraan pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor lainnya. Pengaturan upah minimum sektoral memberikan perlindungan yang lebih spesifik dan adil kepada pekerja di sektor-sektor tersebut, terutama dalam kondisi di mana sektor tertentu memerlukan standar upah yang lebih tinggi karena tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan.
“Dengan dihilangkannya ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam UU 6/2023, terdapat potensi penurunan standar perlindungan yang sebelumnya telah diberikan kepada pekerja, khususnya di sektor-sektor yang memerlukan perhatian khusus dari negara. Oleh karena itu, penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Arsul.
Sebelumnya, para Pemohon menguji 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU Cipta Kerja. Adapun klaster-klaster dimaksud yaitu, Lembaga Pelatihan Kerja; Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja; Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Waktu Kerja; Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK); Penghapusan Sanksi Pidana; dan Jaminan Sosial.
Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, Para Pemohon dalam 93 poin petitum antara lain meminta MK menyatakan tanda baca “titik koma (;)” dan kata “atau” setelah frasa “lembaga pelatihan kerja swasta” dalam Pasal 81 angka 1 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 13 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi: “b. lembaga pelatihan kerja swasta”.
Kemudian menyatakan Pasal 81 angka 3 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum”.
(Dani Jumadil Akhir)