"Namun di saat yang lain APBN itu harus merespon seperti yang kita lihat episode-episode seperti saat global financial crisis, waktu terjadinya pandemi (Covid-19), itu kita gunakan APBN," kata Menkeu dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (13/11) lalu.
Tak selang berapa lama, muncul petisi yang dibuat masyarakat di media sosial X @barengwarga pada Selasa (19/11) silam. Dalam cuitannya, akun itu menuntut pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan PPN.
"Kenaikan PPN tersebut secara langsung akan membebani masyarakat karena menyasar barang-barang kebutuhan pokok. Kalau keputusan menaikkan PPN itu dibiarkan bergulir, mulai harga sabun mandi sampai bahan bakar minyak (BBM) akan ikut naik. Otomatis daya beli masyarakat akan terganggu dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup," bunyi cuitan tersebut.
Terkait dengan target ekonomi pemerintah baru di 8 persen, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, dengan naiknya harga sebagian besar barang akibat PPN, maka hal ini dinilai akan menggerus daya konsumsi masyarakat sehingga memperlambat ekonomi.
“Kalau situasi perlambatan ekonomi terjadi, kemudian ditambah lagi dengan upaya dari pemerintah untuk menaikkan PPN, ya, otomatis secara umum nanti akan menggerus pada konsumsi,” ujar Eko.
Menurut hitungan Indef, kenaikan tarif PPN dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menurun 0,17 persen dari biasanya dan konsumsi rumah tangga juga akan merosot sebanyak 0,26 persen. Padahal, Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen selama masa kepemimpinannya.
"Kalau dalam 100 hari pemerintahan Pak Prabowo ini tidak bisa membangkitkan daya beli, kita harus melupakan (target) pertumbuhan ekonomi 8 persen," kata Eko.
(Taufik Fajar)