JAKARTA - Masyarakat masih kompak menolak kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini dinilai akan berdampak pada ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sudah menyampaikan bahwa pada dasarnya kebijakan penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen ini telah melalui pembahasan yang mendalam antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Pembahasan antara pemerintah dan Komisi IX DPR berjalan alot karena pada saat itu yang juga menjadi pertimbangan adalah soal daya beli masyarakat. Belum lagi, di dalam Pasal 17 ayat (3) UU HPP pun terdapat ketentuan yang menjelaskan bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen harus dilaksanakan paling lambat pada 1 Januari 2025.
Namun, penjelasan kepada masyarakat untuk tetap menerapkan tarif PPN 12 persen di awal tahun ini diperlukan, agar pemerintah tetap bisa menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alih-alih menggunakan instrumen tersebut dengan membabi-buta.
"Namun di saat yang lain APBN itu harus merespon seperti yang kita lihat episode-episode seperti saat global financial crisis, waktu terjadinya pandemi (Covid-19), itu kita gunakan APBN," kata Menkeu dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (13/11) lalu.
Tak selang berapa lama, muncul petisi yang dibuat masyarakat di media sosial X @barengwarga pada Selasa (19/11) silam. Dalam cuitannya, akun itu menuntut pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan PPN.
"Kenaikan PPN tersebut secara langsung akan membebani masyarakat karena menyasar barang-barang kebutuhan pokok. Kalau keputusan menaikkan PPN itu dibiarkan bergulir, mulai harga sabun mandi sampai bahan bakar minyak (BBM) akan ikut naik. Otomatis daya beli masyarakat akan terganggu dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup," bunyi cuitan tersebut.
Terkait dengan target ekonomi pemerintah baru di 8 persen, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, dengan naiknya harga sebagian besar barang akibat PPN, maka hal ini dinilai akan menggerus daya konsumsi masyarakat sehingga memperlambat ekonomi.
“Kalau situasi perlambatan ekonomi terjadi, kemudian ditambah lagi dengan upaya dari pemerintah untuk menaikkan PPN, ya, otomatis secara umum nanti akan menggerus pada konsumsi,” ujar Eko.
Menurut hitungan Indef, kenaikan tarif PPN dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menurun 0,17 persen dari biasanya dan konsumsi rumah tangga juga akan merosot sebanyak 0,26 persen. Padahal, Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen selama masa kepemimpinannya.
"Kalau dalam 100 hari pemerintahan Pak Prabowo ini tidak bisa membangkitkan daya beli, kita harus melupakan (target) pertumbuhan ekonomi 8 persen," kata Eko.
(Taufik Fajar)