JAKARTA – Asian Shipowners Association (ASA) menyoroti sejumlah isu utama dalam industri pelayaran global. Pemilik kapal di Asia didorong untuk bersatu dengan memperkuat kolaborasi, mempercepat dekarbonisasi, dan mendorong inovasi guna membangun industri maritim yang tangguh dan berkelanjutan.
Adapun isu utama yang mendapat perhatian meliputi perlindungan kesehatan mental pelaut, pentingnya batasan tanggung jawab dalam pelayaran, keamanan maritim, serta upaya menjaga prinsip perdagangan bebas dan persaingan usaha yang sehat di tengah tantangan global saat ini.
Ketua ASA, Carmelita Hartoto, mengatakan bahwa Asia memiliki peran yang sangat sentral dalam membentuk masa depan industri pelayaran global. Oleh karena itu, para pemilik kapal di Asia harus bersatu.
"Komitmen untuk mendorong kolaborasi, mempercepat inisiatif dekarbonisasi, dan merangkul inovasi guna membangun industri maritim yang tangguh dan visioner," katanya dalam Rapat Umum Tahunan (Annual General Meeting/AGM) ke-34 di JCC Senayan, Selasa (27/5/2025).
Pelaut merupakan tulang punggung perdagangan global yang tak tergantikan, memastikan pergerakan barang-barang penting melintasi samudra tanpa gangguan. Namun, peran penting mereka harus dibayar mahal karena bertahan dalam isolasi berkepanjangan dan berpisah dengan orang yang mereka cintai dalam waktu lama. Beban stres yang terkumulasi ini secara signifikan meningkatkan risiko kecemasan dan depresi, yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan mental.
Amandemen terhadap Maritime Labour Convention (MLC) 2006, yang diadopsi pada April 2025, merupakan langkah maju penting dalam menangani isu-isu tersebut. Amandemen ini menetapkan pelaut sebagai pekerja kunci, memperkuat ketentuan pemulangan (repatriasi), menerapkan kebijakan cuti darat bebas visa, serta memperkuat langkah-langkah anti-bullying dan anti-pelecehan.
ASA mengapresiasi amandemen baru ini dan menyerukan aksi bersama untuk menanamkan perlindungan kesehatan mental ke dalam praktik-praktik industri, mengintensifkan inisiatif peningkatan kesadaran, dan menempatkan kesehatan mental para pelaut pada tingkat yang sama pentingnya dengan keselamatan fisik mereka.
ASA menegaskan peran penting pembatasan tanggung jawab dalam menjaga masa depan perdagangan maritim internasional. Menyusul insiden besar baru-baru ini yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur parah serta proses hukum kompleks, ASA memberikan peringatan tegas mengenai risiko yang timbul jika prinsip fundamental ini diabaikan.
Pembatasan tanggung jawab bukan sekadar teknis hukum, melainkan tulang punggung perdagangan maritim. Dengan menetapkan batas tanggung jawab bagi pemilik dan pengelola kapal pada tingkat yang wajar, sebagaimana diatur dalam konvensi internasional dan hukum di banyak yurisdiksi Asia, prinsip ini memungkinkan para pemilik kapal beroperasi dengan keyakinan dan kepastian guna menjaga kelancaran rantai pasok global.
Prinsip ini menciptakan keseimbangan krusial, memastikan pihak yang mengajukan klaim menerima kompensasi yang adil sekaligus melindungi industri pelayaran dari risiko kerugian finansial tak terbatas.
Iklim saat ini yang diwarnai peningkatan pengawasan dan seruan reformasi berisiko mengoyak sistem yang telah menjadi dasar transportasi laut aman dan efisien selama berabad-abad. Melemahkan atau menghapuskan batasan tanggung jawab akan membawa dampak mendalam dan luas. Langkah tersebut akan meningkatkan biaya, menghambat investasi, serta mengganggu kelayakan asuransi dalam operasional pelayaran dengan konsekuensi negatif yang merambat ke berbagai sektor ekonomi dan berdampak pada konsumen di seluruh dunia.
ASA mendesak seluruh regulator dan pemangku kepentingan untuk memahami bahwa pembatasan tanggung jawab bukan celah menghindari tanggung jawab, melainkan bentuk perlindungan yang dirancang secara cermat guna mendukung keadilan dan stabilitas ekonomi. ASA tetap teguh menjalin dialog konstruktif, namun meyakini bahwa menjaga keberlangsungan prinsip pembatasan tanggung jawab sangat penting bagi ketahanan dan kemakmuran industri pelayaran di Asia maupun dunia.
ASA menyerukan industri maritim tetap waspada dan memperkuat kerja sama dalam menghadapi ancaman keamanan maritim (Maritime Security/MARSEC) yang terus berkembang di sepanjang jalur pelayaran utama dunia.
ASA menekankan pentingnya kolaborasi berkelanjutan dengan otoritas regional dan mitra internasional guna memastikan pelaporan insiden tepat waktu serta meningkatkan kesadaran terhadap kondisi maritim (maritime domain awareness).
Secara bersamaan, ASA menyoroti urgensi kesiapan dan keselarasan industri seiring langkah International Maritime Organization (IMO) yang tengah menyelesaikan kerangka kerja pengurangan gas rumah kaca (GRK). Pembaruan dari MEPC 82 dan 83 mengungkap berbagai usulan terkait standar bahan bakar, pungutan emisi, serta skema insentif untuk teknologi rendah dan nol emisi. ASA menyadari kompleksitas menyeimbangkan target lingkungan ambisius dengan realitas operasional, khususnya bagi operator kecil dan wilayah berkembang, serta menyerukan strategi implementasi yang praktis, adil, dan inklusif.
ASA kembali menegaskan komitmennya mendukung inisiatif yang meningkatkan keselamatan maritim dan mengurangi emisi, serta mendorong seluruh pemangku kepentingan berkontribusi aktif dalam membentuk regulasi global yang efektif dan inklusif.
Di tengah meningkatnya konflik ekonomi serta tumbuhnya proteksionisme dan unilateralisme di berbagai belahan dunia, ASA menyatakan keprihatinan terhadap prinsip-prinsip perdagangan bebas, persaingan usaha sehat, dan akses pasar yang kini terancam. Kondisi ini menjadi ancaman serius terhadap pembangunan perdagangan global berkelanjutan serta ketahanan rantai pasok internasional.
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, ASA mengadopsi pernyataannya pada Maret 2025, di mana para pemilik kapal Asia mendorong pemerintah masing-masing mempromosikan kebijakan tidak diskriminatif terhadap kapal berbendera asing serta mengadopsi kerangka regulasi lintas negara yang selaras secara internasional, transparan, dan dapat diprediksi di yurisdiksi mereka. Lebih lanjut, komunikasi erat dengan otoritas kanal juga dianggap sangat penting untuk memastikan kelancaran, keamanan, dan stabilitas pelayaran di kanal-kanal tersebut, yang merupakan titik kritis dalam perdagangan maritim global.
(Feby Novalius)